Pages

Arti Nomor Rangka Mesin

Kita semua mungkin pernah membaca no rangka kendaraan milik kita sebagaimana yang tercantum dalam STNK/ BPKB. Namun banyak yang belum tahu apa arti kode rangka kendaraan tersebut. No mesin dan No rangka/chassis merupakan nomor yang digunakan untuk mengidentifikasi setiap unit kendaraan bermotor.

Asal Usul Marga Tionghoa

Asal usul Marga Tionghoa dapat ditelusuri mulai dari 5,000 tahun yang lalu pada zaman “San Huang Wu Di” yang pada awalnya mengikuti garis keturunan Ibu yang disebut dengan “Xing [姓]” hingga pada Dinasti Xia, Shang dan Zhou munculah Marga Tionghoa menurut status sosial yang disebut dengan “Shi [氏]”.

36 Strategi Perang

36 Strategi San Shi Liu Ji [三十六计] merupakan salah satu maha karya yang berasal dari daratan China yang membahas tentang strategi-strategi kemiliteran. Karya 36 Strategi Perang ini sangat terkenal dan telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta banyak diterapkan oleh para pebisnis untuk memenangi persaingan dalam dunia bisnis.

Sejarah Dibubarkannya Monarki Perancis

Lukisan ilustrasi Revolusi Prancis karya Jean-Pierre Houë Tepat 220 tahun yang lalu, Revolusi Perancis memasuki babak penting: dibubarkannya monarki. Pembubaran ini diputuskan oleh Majelis Legislatif yang mendukung gerakan revolusi rakyat. Menurut The History Channel, dengan demikian Perancis tidak lagi diperintah raja saat Majelis menyepakati pembentukan Republik Pertama.

John Lie, Pahlawan Nasional Pertama Keturunan China

Matahari baru saja terbenam saat sebuah kapal hitam menyelinap keluar dari pelabuhan kecil di Phuket, Thailand. Kapal motor berwarna hitam itu tak menyalakan lampu. Di buritannya berkibar bendera Merah Putih. Di belakang kemudi, berdiri kapten kapal John Lie. Siapakah dia?

Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Agustus 2012

Tsunami Tertua di Nusantara

Lonceng-lonceng di Kastel Victoria di Leitimor, Ambon, berdentang sendiri. Orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan. Tak lama kemudian air laut datang dengan suara bergemuruh.

Demikian penggalan catatan naturalis Georg Everhard Rumphius tentang gempa dahsyat disusul tsunami yang melanda Pulau Ambon dan Seram pada 17 Februari 1674. Catatan itu dibuat Rumphius pada 1675 dan jadi satu-satunya naskah yang diterbitkannya semasa hidup.

Kastel Victoria di Leitimor itu kini ada dalam kompleks Benteng Victoria, Ambon. Lokasi benteng ini persis di seberang Kantor Gubernur Provinsi Maluku. Saat ini benteng itu dijadikan kompleks perkantoran dan perumahan Komando Daerah Militer XVI/Pattimura.

Catatan Rumphius itu sejauh ini merupakan dokumentasi lengkap tertua yang dibuat tentang gempa dan air laut naik (istilah tsunami belum dikenal saat itu) di Nusantara. Sebelumnya, bahkan hingga ratusan tahun kemudian, kisah tsunami di Nusantara lebih kerap disebutkan dalam cerita lisan.

Awalnya, naskah ini disimpan di Perpustakaan Kerajaan Belanda di Den Haag dalam kategori anonim. Baru pada tahun 1871 ditetapkan bahwa laporan itu dibuat Rumphius. Pada tahun 1998, catatan itu diterbitkan kembali atas transkripsi W Buijze.

MJ Sirks PhD, profesor genetika dari Universitas Groningen dalam tulisan Rumphius, the Blind Seer of Amboina menyatakan, Rumphius begitu terikat dengan Ambon karena selama hampir 50 tahun dia tinggal di sana dan mengalami tragedi sekaligus kebahagiaan dalam pekerjaannya.

Penyaksi Buta

Kisah perjalanan Rumphius memang penuh tragedi. Dia menghabiskan masa mudanya di Hanau, Jerman, tempat ayahnya, August Rumpf, menjadi arsitek terkenal. Namun, itu tidak menghalangi ketertarikan Rumphius untuk menjadi petualang. Ia berharap untuk melihat dunia yang lebih besar dari Hanau.

Rumphius pun meminta gurunya, Count Ludwig von Solms Grifenstein-Braunfels, untuk didaftarkan sebagai tentara Republik Venesia.

Namun, setelah naik ke kapal di Holland, bagian barat Belanda, ia sadar telah ditipu. Rumphius ternyata justru dimasukkan menjadi tentara West Indies Company (WIC). Awalnya dia memang akan dikirim sebagai prajurit ke Venesia, namun kapal itu mengubah haluan dan membawa para prajurit itu ke Brasil.

Di tengah jalan, kapal Swarte Raef, yang membawa Rumphius, diserang kapal Portugis. Rumphius kemudian dibawa ke Portugis. Di sana ia dan teman- teman prajuritnya dilatih untuk menjadi tentara Portugis.

Periode ini menjadi titik balik kehidupan Rumphius. Di Portugis, keinginan bertualangnya tersalurkan ke arah lain. Ia mendengar begitu banyak cerita luar biasa tentang dunia timur, dunia tumbuhan yang aneh, dan hewan-hewan asing yang juga aneh. Semua itu membuat keinginan Rumphius untuk menjelajah kian besar.

Setelah meninggalkan Portugis pada 1648 atau 1649, Rumphius kembali ke Hanau. Pada akhir 1652, ia mendaftarkan diri sebagai tentara East Indies Company (EIC). Pada Juni 1653, dia pun mendarat di Batavia dan pada 8 November ia pergi ke Pulau Ambon.

Menjadi tentara ternyata tidak memuaskannya. Gubernur Ambon saat itu, Jacob Hustaerdt, kemudian memberinya tugas sipil. Pada 1662 Rumphius resmi menjadi menjadi pegawai perdagangan di perusahaan EIC.

Pada saat itu juga Rumphius mulai mempelajari hewan dan tumbuhan di Ambon secara sistematis. Selama bertahun-tahun ia mendedikasikan waktu luangnya untuk belajar dan menulis tentang flora dan fauna Ambon.

Rumphius kemudian menjadi pimpinan di Hitu, sebuah daerah di pesisir utara Jazirah Leihitu di bagian utara Pulau Ambon. Di sana ia tinggal bersama keluarganya. Setelah dibebastugaskan dari perusahaan, Rumphius menemukan kebahagiaan dengan meneliti alam.

Namun, pada tahun 1770 Rumphius mengalami tragedi tragis. Dia kehilangan penglihatannya, tanpa ada penjelasan penyebabnya. Kebutaan yang dialami tidak menghalanginya untuk melanjutkan penelitiannya tentang flora dan fauna Ambon.

Dalam ilmu alam, Rumphius menghasilkan tiga kerja besar: Amboinsch Kruidboek, Amboinsch Rariteitkamer, dan Amboinsch Dierboek.

Kruidboek atau ”Herbarium Amboinense” dipandang sebagai karya terbesar Rumphius. ”Di antara tulisan-tulisan itu ada tulisan Rumphius lain yang kurang penting. Akibatnya, Tuan-tuan yang Mulia, ia tidak terlalu merekomendasikannya. Ada yang Amboinsche-Rariteitkamer, yang terdiri dari tiga buku, dan masih ada buku lain, Land-, Lugt-en Zeegedierten dari kepulauan ini...” (dari surat Gubernur Ambon ke Gubernur Jenderal di Batavia pada 20 Mei 1697).

Pada 1679 dan 1680, Gubernur Ambon memberikan asisten yang bernama Daniel Crul untuk membantu kerja Rumphius. Anak Rumphius, Paulus Augustus, juga membantu, setidaknya dari 1686. Rumphius menghasilkan banyak sekali karya sehingga Gubernur Ambon Dirck de Haes menulis, ”Pekerjaan sepertinya telah selesai, dan saat ini ada 1.720 bab termasuk 12 buku.”

Namun, tragedi rupanya tidak menjauh dari Rumphius. Dalam kebakaran besar di Ambon, pada 11 Januari 1670, buku, koleksi, dan manuskrip Rumphius turut hancur. Untungnya sebagian buku utama bisa diselamatkan, namun gambar-gambar yang dibuat Rumphius sebelum tahun 1670 turut dimakan api.

Tragedi Terbesar

Bagi Rumphius, tragedi terbesar yang dialaminya terjadi pada 1674, ketika gempa dan gelora tsunami melanda. Bukan hanya karena petaka itu menewaskan 2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram, tetapi juga menewaskan istri Rumphius dan salah satu anak perempuannya.

Hila, di dekat Hitu, disebut Rumphius sebagai daerah yang paling menderita. ”Begitu gempa mulai menggoyang, seluruh garnisun, kecuali beberapa orang yang terperangkap di atas (benteng), mundur ke lapangan di bawah benteng, menyangka mereka akan lebih aman. Akan tetapi, sayang sekali tidak seorang pun menduga bahwa air akan naik tiba-tiba ke beranda benteng (Amsterdam),” tulis Rumphius.

Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui atap rumah dan menyapu bersih desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai. Sebanyak 1.461 orang tewas di Hila.

Sedangkan di Hitu, menurut Rumphius, air laut naik hingga setinggi 3 meter dan menyeret rumah-rumah kompeni. Sedikitnya 36 orang tewas.

Dengan rinci Rumphius mengisahkan kondisi desa-desa di Ambon dan Seram yang hancur akibat peristiwa itu. Sedikitnya ada 11 desa yang dideskripsikan Rumphius.

Desa-desa itu terentang di sepanjang pesisir utara Jazirah Leihitu, mulai dari Larike di ujung barat hingga Tial di ujung timur. Di Pulau Seram yang tercatat adalah tempat-tempat di daerah Huamual, seperti Tanjung Sial dan Luhu. Catatan lain juga berasal dari Oma di selatan Pulau Haruku dan Pulau Nusa Laut.

Dalam khazanah mitigasi bencana, catatan Rumphius ini merupakan warisan penting karena memberi kesaksian bahwa Nusantara memiliki riwayat gempa dan tsunami yang sangat panjang. Jauh sebelum tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Rumphius telah menuliskan tentang bencana sejenis di bagian timur Nusantara.

Sayangnya, catatan rinci Rumphius itu tak banyak diketahui masyarakat Ambon dan Seram. Nama Rumphius bahkan tidak begitu dikenal.

”Tidak banyak yang tahu tsunami yang katanya dicatat Rumphius. Kalau gempa di sini memang sering terasa, tapi masyarakat tidak lari ke bukit, malah diam di tempat,” kata Damri Lating (49), warga Hila.

Hal senada diungkapkan Said Lumaela (52), warga Kaitetu, desa yang bersebelahan dengan Hila. ”Pernah dengar tentang Rumphius, tetapi tidak tahu itu soal apa,” katanya.

Sumber: kompas.com

Senin, 13 Agustus 2012

Jejak Wallace di Ternate yang Dilupakan

Pada Febuari 1858 itu, Alfred Russel Wallace tergeletak di kamar tidurnya, terserang demam, kemungkinan karena malaria. Dari kamarnya di sebuah rumah di Ternate, Maluku Utara, yang disebutkannya tak jauh dari pasar dan benteng, dia menulis surat kepada Charles Darwin. Saat itu, Darwin berada nun jauh di Kepulauan Galapagos.

"Surat dari Ternate" inilah yang kemudian menjadi tonggak penting bagi Darwin untuk menerbitkan bukunya, Origin of Species, pada 1859. Buku ini berisi proses seleksi alam yang memicu evolusi. Dari sini, Darwin dikenal sebagai Bapak Evolusi.

Surat yang dikirim Wallace itu memberi jawaban bagi Darwin tentang fenomena keberagaman hayati: the fittest would survive (individu inferior akan mati dan individu superior akan bertahan).

Surat berjudul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” itu membuka dialektika tentang siapa yang layak menyandang gelar sebagai penemu teori evolusi. Apakah Wallace lebih dulu atau Darwin? Bukankah Darwin baru menerbitkan teorinya setahun kemudian setelah surat Wallace?

Belakangan, dunia pengetahuan mengakui Wallace adalah penemu teori evolusi bersama-sama dengan Darwin. Sebelumnya, hanya Darwin yang menikmati popularitas sebagai penemu teori evolusi.

Ternate, yang menjadi tempat tinggal Wallace selama empat tahun dalam bertahun-tahun pengembaraannya di Nusantara, menjadi sangat populer. Ternate bukan lagi cengkeh dan pala semata, melainkan juga tempat Wallace menuliskan gagasan cemerlang. ”Surat dari Ternate” adalah khazanah berharga perjalanan pengetahuan modern.

Selama di Ternate, Wallace juga melahirkan karya hebat, di antaranya menemukan perbedaan karakteristik flora dan fauna berdasarkan lempeng bumi.

Sebuah garis maya dibuatnya untuk memisahkan antara flora-fauna di Indonesia bagian timur yang ada di Lempeng Australia dan Indonesia bagian barat yang berada di Lempeng Eurasia. Garis yang kemudian dikenal sebagai Garis Wallace ini terentang sepanjang Selat Makassar dan memanjang ke Selat Lombok.

Garis ini tak hanya mengisahkan jalan hidup flora-fauna antarlempeng yang terpisah laut dalam, tapi juga perbedaan karakteristik manusia yang dapat diamati. Wallace mengelompokkan manusia di Indonesia barat dalam ras Melayu dan ras Papua untuk manusia di Indonesia timur.

Di Maluku-lah kedua ras itu bertemu. Wallace menyebut penduduk di Pulau Obi, Bacan, dan Halmahera sebagai perpaduan ras Melayu dan Papua. Perpaduan inilah yang dibuktikan secara genetik pada 2011 oleh sejumlah ahli genetika Indonesia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat dalam ”Genetic Continuity Across a Deeply Divergent Linguistic Contact Zone in North Maluku, Indonesia.

Jejak Wallace

Walllace menjadikan Ternate sebagai tempat singgah dari pengembaraannya ke Halmahera, yang dulu disebutnya Gilolo (mengacu pada nama Kesultanan Jailolo), hingga ke New Guinea (Papua) dan pulau-pulau gunung api di sekitar Maluku untuk mengumpulkan beragam flora-fauna.

Dengan bersemangat Wallace berkisah tentang kota Ternate, yang dinaungi Gunung Gamalama. ”Letaknya sangat strategis sehingga pemandangan di segala penjuru tampak jelas.... Di balik kota, berdiri gunung api yang lerengnya landai dan tertutup pohon buah-buahan lebat,” tulis Wallace saat baru tiba di Ternate pada 8 Januari 1858.

Wallace juga membanggakan rumah di Ternate yang disewa empat tahun. ”Di samping untuk menyusun koleksi (flora-fauna), rumah itu saya perlukan guna memulihkan kesehatan dan mempersiapkan perjalanan-perjalanan berikutnya,” tulisnya.

Dia pun menggambar denah dan mendeskripsikan rumah yang ditinggalinya di Ternate itu. ”...sehingga memungkinkan pembaca untuk mengenal struktur bangunan di Ternate,” tulis Wallace. Di rumah inilah Wallace menulis ”Surat dari Ternate”.

Sekitar 154 tahun kemudian, jejak pengembaraan Wallace di Ternate nyaris tak meninggalkan jejak, selain gang kecil di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, yang diberi nama Lorong Alfred Russel Wallace.

Persis di samping gang itu, sebuah rumah yang kini dihuni keluarga Paunga Tjandra (63), diduga sebagai rumah tinggal Wallace selama di Ternate. ”Rumah ini dibeli ayah saya dari almarhum H Ucu Bai, warga di sini. Kami awalnya tidak tahu-menahu ini rumah Wallace,” kata Verjon Tjandra (35).

Verjon menunjukkan satu tiang tembok dan bekas sumur yang telah ditutup di pekarangan belakang rumah. ”Bekasnya, ya, hanya ini,” katanya. ”Banyak peneliti, sebagian bule, yang datang akhirnya kecewa karena memang hanya ini yang tersisa.”

Tiadanya jejak Wallace itu juga dikeluhkan Prof Sangkot Marzuki, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea Indonesia. Ahli genetika ini menulis komentar dalam buku The Malay Archipelago edisi Indonesia, Kepulauan Nusantara (2009).

"Alfred Russel Wallace adalah nama besar dalam jagat ilmu pengetahuan dunia. Namun, melalui bukti-bukti, peninggalan Wallace dengan nyata teraba dan dengan mudah teridentifikasi bahwa dia adalah bagian sejarah bangsa Indonesia...," tutur Sangkot. ”Ternate—tempat ia lama bekerja dan tempat sesungguhnya teori akbar mengenai evolusi lahir—sama sekali bersih dari tanda-tanda yang mengingatkan penemuan paling besar pada abad ke-19 itu. Sayang sekali.”

Pada tahun 2008, Yayasan Wallacea dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pernah berinisiatif mendirikan monumen Wallace di halaman rumah Paunga. Tujuannya untuk mengangkat kembali nama Wallace di Ternate. Namun, monumen itu hingga kini tak terwujud. Tiadanya kesepakatan harga tanah antara pemilik rumah saat ini dan pemerintah membuat situs sejarah itu terbengkalai.

Nama jalan di depan rumah itu pun sudah diubah. Nama jalan itu diubah menjadi Jalan AR Wallace pada 2008 dari sebelumnya bernama Jalan Nuri. Namun, tahun 2010, namanya diubah lagi menjadi Jalan Juma Puasa hingga sekarang.

Sumber: kompas.com

Rabu, 11 April 2012

Kisah Tambora 197 Tahun Lalu dan Frankenstein

Pada Senin 9 April 2012, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menetapkan Gunung Tambora berstatus normal, level terendah dalam status kegunungapian. Situasi yang kontras dibandingkan apa yang terjadi 197 tahun lalu.

Kala itu, pada 5 April 1815, Tambora mulai menunjukkan gejala tak beres. Ia bergemuruh, suaranya menggelegar. Abu dimuntahkan dari kawag. Data PVMBG menyebut, letusan paroksimal terjadi pada tanggal 10 April 1815 dan berakhir pada tanggal 12 April 1815. Tiga hari yang mengerikan. Letusan diiringi halilintar sambung-menyambung bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer.

Kekuatan letusan Tambora adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Sebanyak 92.000 nyawa terenggut, abu dan panas menyembur melubangi atmosfer, suhu rata-rata global merosot 3 derajat Celcius. Bahkan di belahan Bumi utara, tak ada musim panas di tahun berikutnya, 1816, 'the year without summer'. Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya.

Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1985. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. "Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di manapun di muka Bumi," tulis dia, seperti dimuat situs sains, NewScientist.

Gunung yang meletus adalah Tambora di Pulau Sumbawa. Letusannya terdengar hingga 850 kilometer. Sejumlah nahkoda kapal yang berlayar di sekitar Sumbawa menggambarkan kondisi parah kala itu. "Mereka melihat lautan sejauh mata memandang dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, yang menghalangi kapal," demikian tulis pedagang itu.

Dua hari setelah letusan dahsyat, Sumbawa gelap gulita. "Tanaman padi sama sekali rusak, tak ada yang tersisa. Manusia dalam jumlah besar tewas seketika, lainnya meregang nyawa setiap harinya."

Di belahan dunia lain, Tambora juga merenggut ribuan nyawa. Bukan karena letusannya, melainkan akibat epidemi tifus dan kelaparan merata di wilayah Eropa. Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan toko dibakar dan dijarah. Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.

Namun, tak ada yang menduga, ilmuwan sekalipun, Matahari akan menghilang tahun 1816. Orang-orang mengira, kiamat akan segera terjadi. Kepanikan tak terkendali. "Seorang gadis membangunkan bibinya dan berteriak, dunia akan segera berakhir. Sang bibi yang terkejut, bahkan sampai koma.

Sementara di Ghent, pasukan kavaleri yang melintas saat badai meniup terompet mereka, tanpa diduga, dua pertiga penduduk turun ke jalan, berlutut. Mereka mengira telah mendengar sangkakala pertanda kiamat," demikian digambarkan London Chronicle.

Mengilhami Frankenstein

Di seputaran waktu itu, seorang perempuan 18 tahun bernama Mary Shelley sedang berlibur di kawasan Danau Jenewa, Swiss. Bersama Bysshe Shelley, suaminya di masa depan, mereka terjebak hujan deras di rumah Lord Bryon. Suasana gelap kala itu.

Untuk mengalihkan perhatian dari cuaca buruk, tuan rumah mengadakan kompetisi menulis cerita horor. Shelley menghasilkan sebuah novel spektakuler yang tenar sepanjang massa, "Frankenstein".

Masa itu, seperti dimuat situs sains, Discovery.com, mereka juga sempat melakukan eksperimen, menggunakan gelimbang listrik pada hewan yang mati -- yang melatarbelakangi ide membangkitkan jasad yang tak bernyawa. Kelompok itu juga bergiliran membaca kisah horor German.

Sementara, Lord Bryon menghasilkan puisi berjudul "Darkness". "Cahaya matahari padam," demikian tulis Bryon dalam puisi yang ia tulis tahun 1986.

Di Indonesia, sejarah Tambora lama terlupakan. Sedikit yang menyadari, kejadian luar biasa pernah terjadi di nusantara. Peringatan dua abad letusan Tambora akan jatuh pada April 2015 mendatang. Perhelatan akbar sedang disiapkan, termasuk eksebisi situs-situs yang ditemukan di sekitar gunung tersebut.

Di antaranya, sisa-sisa peradaban kuno dan kerangka dua orang dewasa yang terkubur abu Tambora di kedalaman 3 meter. Diduga, itu adalah sisa-sisa Kerajaan Tambora yang tragisnya 'diawetkan' oleh dampak letusan dahsyat itu.

Penemuan situs itu membuat Tambora punya kesamaan dengan letusan Gunung Vesuvius di abad ke-79 Masehi. Peradaban di Tambora lantas sebagai "Pompeii di Timur."

Sumber: vivanews

Kamis, 23 Februari 2012

Sejarah Dunia Sinema di Indonesia

Tengoklah film Eulis Atjih (September 1927). Pada poster promosi film ini tertulis liat bagimana bangsa Indonesia tjoekoep pinter maen di dalem film, tiada koerang dari laen matjem film dari Europa atawa Amerika.

Fakta itu disampaikan sineas Riri Riza dalam diskusi 'Film dan Diplomasi' di ruang rapat Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, Pejambon, sebagaimana dituturkan Shohib Masykur kepada detikcom, Rabu (22/2/2012).

"Satu tahun sebelum Sumpah Pemuda dideklarasikan, film ini sudah mengimajikan sebuah bangsa bernama Indonesia. Film ini sudah membentuk bangsa ini bahkan sebelum kita merdeka," ujar Riri, dalam diskusi yang dibuka oleh Direktur Kerja Sama Teknik (KST) Siti N. Maulidiah dan diikuti oleh 25 peserta.

Oleh sebab itu, menurut Riri, film bukan semata-mata hiburan, melainkan merupakan identitas suatu masyarakat atau bangsa yang dicerminkannya. Pada saat yang sama, film juga menjadi alat bagi suatu bangsa untuk meneguhkan jati dirinya.

Barangkali tidak banyak yang tahu, bahwa sebelum Indonesia dibanjiri film-film Hollywood seperti sekarang ini, seorang artis Indonesia asal Jawa telah menancapkan kaki di lumbung perfilman Amerika tersebut.

"Dialah Dewi Dja, artis Indonesia pertama yang go international lewat peran yang dia mainkan di film-film Hollywood. Di zamannya, Dewi Dja merupakan mega bintang yang digandrungi oleh kalangan penikmat film tanah air," terang Riri.

Film dan Diplomasi

Dalam dunia diplomasi, film memainkan peran penting yang barangkali selama ini masih kurang disadari. Ekspansi budaya yang disajikan lewat film jauh lebih efektif untuk mengenalkan suatu negara dibanding media apapun.

Lihat saja Amerika. Saat negara-negara lain seperti Prancis dengan CCF-nya (Centre Culturel Francais, red), dan Jerman dengan Goethe Institute-nya berjuang keras agar orang mau menonton film-film mereka, Amerika tanpa susah payah telah mendapatkan jutaan pelanggan setia lewat Hollywood-nya.

"Melalui film-film Hollywood-lah kebudayaan Amerika, berikut cara hidupnya, diekspor ke berbagai negara. Pusat kebudayaan Amerika adalah bioskop 21 dan XXI," jelas Riri.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Riri, harus diakui bahwa film-film Indonesia saat ini masih belum banyak yang go international. Namun bukan berarti Indonesia tidak bisa. Potensi sebenarnya ada, dan sangat bisa dioptimalkan jika ada kemauan.

Dari pengalaman pribadi, Riri mengatakan beberapa filmnya telah melanglang buana ke berbagai negara lewat festival-festival film internasional. Ada juga sutradara-sutradara yang di dalam negeri kurang begitu dikenal, namun karyanya telah dinikmati oleh publik pecinta film di luar negeri.

Di sinilah kolaborasi antara aktor-aktor swasta dan pemerintah bisa dimanfaatkan. Pemerintah melalui perwakilan- perwakilan yang ada di seluruh dunia bisa menjadi supporting actors yang mendukung pengenalan film-film Indonesia di luar negeri.

Peran tersebut, menurut alumnus IKJ tahun 1992 ini, belum dimainkan secara maksimal. Padahal jika wahana film ini bisa digunakan secara optimal, banyak manfaat akan diperoleh Indonesia, salah satunya di bidang pariwisata.

Sebagai ilustrasi, kunjungan wisatawan ke Belitung meningkat tajam setelah film Laskar Pelangi diputar. Dulu waktu kita syuting susah sekali mencari hotel di sana. Sekarang sangat gampang orang cari hotel. Penerbangan ke Belitung dulu cuma sekali sehari, sekarang tiga kali sehari, tutur sineas muda yang tengah menggarap film Bumi Manusia ini.

Salah satu yang bisa dilakukan perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri adalah mengadakan pameran atau festival film Indonesia. Mengenai ini, Azis Nurwahyudi, diplomat yang pernah ditugaskan di Praha dan berpengalaman menggelar festival film Indonesia, memberikan tips-tipsnya.

Yang paling penting adalah menentukan tema festival, kata Azis.

Menurut Azis, tema ini krusial supaya festival itu memiliki fokus dan tujuan tertentu sehingga lebih efektif dalam menyampaikan pesan kepada pengunjung. Setelah tema ditentukan, kemudian pikirkan strategi promosinya.

"Promosi ini menjadi kunci karena akan menentukan berapa orang akan menghadiri festival. Gunakan berbagai medium seperti poster, milis, dan terutama radio," imbuhnya.

Faktor tempat penyelenggaraan juga harus diperhitungkan karena akan memengaruhi animo masyarakat untuk datang. Agar acara itu memiliki gaung kredibilitas, sangat penting untuk menggandeng tokoh setempat yang bisa menjadi patron acara.

"Semakin dikenal dan dihormati tokoh tersebut, semakin baik. Dan, ini yang harus dicatat: uang bukan yang paling penting. Kita bisa mencari sponsor. Jadi jangan menganggap ketiadaan dana sebagai kendala," demikian Azis.

Media Ekspresi Masyarakat

Sebelum era 40-an, film-film Indonesia dibuat oleh warga keturunan Cina atau Eropa. Namun mulai tahun 40-an, bermunculanlah sineas-sineas dari kalangan warga Indonesia lainnya. Tokoh paling utama adalah Usmar Ismail yang namanya diabadikan menjadi Pusat Perfilman Usmar Ismail di Jl HR Rasuna Said, Jakarta.

Film Usmar berjudul Citra yang dirilis tahun 1947 menjadi asal muasal nama Piala Citra, penghargaan bergengsi yang diberikan kepada insan perfilman Indonesia layaknya Oscar untuk Hollywood.

Sedangkan hari pertama syuting filmnya yang berjudul Long March, yang bertepatan dengan tanggal 30 Maret, sampai saat ini diperingati sebagai Hari Film Nasional di Indonesia. Premiere film ini disaksikan oleh Presiden RI kala itu, Bung Karno.

Sejarah perfilman Indonesia adalah sejarah pengartikulasian ekspresi masyarakat ke dalam gambar bergerak. Dalam konteks itu, film hadir sebagai manifestasi dari apa yang tengah bergejala di masyarakat.

Karena itulah tema-tema yang diangkat dalam film pun akan selalu bisa dilacak asal-muasalnya dari kondisi sosial politik yang melingkupinya. Film adalah jendela ke dan cermin dari sebuah bangsa, imbuh sineas yang karya-karyanya perkasa di berbagai festival film internasional, antara lain Gie, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi.

Tengoklah misalnya film-film besutan sutradara bertalenta Nyak Abbas Akup. Alumnus University of Southern California (USC) Amerika Serikat ini hadir dengan film-film yang boleh dibilang cukup menampar namun sekaligus jujur dalam mengekspresikan realitas masyarakatnya.

Film Inem Pelayan Seksi (1974) besutannya, yang dilanjutkan dengan Inem Pelayan Seksi 2 dan Inem Pelayan Seksi 3, merupakan satir sarat dengan muatan kritik sosial, termasuk kritik terhadap Persatuan Bangsa-bangsa (lewat PBB yang diartikan sebagai Partai Babu-babu, partai yang didirikan Inem). Pada masa itu film tersebut menjadi hits dan meraih sukses komersial luar biasa.

Film dia yang lain, Drakula Mantu (1974), dengan cermat menangkap ekspresi masyarakat Indonesia yang gandrung akan takhayul dan menghadirkannya dengan balutan komedi satir. Film selalu mencoba menangkap ekspresi seni rakyat. Karena itu tidak mengherankan jika tema-tema horor dan seks tetap eksis sampai sekarang, tandas Riri.

Medan Kontestasi Politik

Di era 50-an, saat terjadi pergolakan politik yang melibatkan pertentangan antara kaum kiri dan non-kiri, film menjadi salah satu medan kontestasi yang diperebutkan. Bachtiar Siagian adalah seorang sineas ternama kala itu yang berhaluan kiri.

Bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI), Bachtiar memproduksi film-film sarat dengan muatan kekirian, seperti Melati Sendja (1956) dan Tjorak Dunia (1956).

Sementara di kubu lain ada Usmar Ismail dan Asrul Sani yang merupakan seniman Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) di bawah Nahdlatul Ulama (NU) yang antikomunis.

Persinggungan film dengan politik era Prahara Kebudayaan itu masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang. Di Sinematex yang merupakan pusat data, dokumentasi, dan informasi perfilman Indonesia di bawah Yayasan Perfilman Usmar Ismail, arsip film-film karya sineas Lekra sangat tidak terawat, bahkan kebanyakan tidak lengkap.

Ini berbeda dengan film-film karya para sineas non-kiri, seperti Usmar Ismail dan Asrul Sani, yang disimpan secara sangat baik dan terawat. Fakta ini tak lepas dari peran Orde Baru yang secara sadar dan sengaja memberangus segala hal berbau kiri.

Dari dulu film selalu dekat dengan politik dan kekuasaan, simpul Riri.

Kedekatan film dengan politik dan kekuasaan juga bisa disimak dari film garapan Arifin C. Noer, salah satu sineas terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Dari tangannya, film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang merupakan propaganda sakti Orde Baru hadir di hadapan seluruh penduduk negeri ini.

Saat film berguna untuk menyingkirkan suatu narasi, di saat yang sama dia juga bermanfaat untuk menghadirkan narasi yang lain. Dan hal itu disadari betul oleh Orde Baru.

Sumber: detikcom

Selasa, 22 November 2011

Sjafruddin Prawiranegara, Presiden RI Selama 207 Hari

Sjafruddin Prawiranegara yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011 ini lahir di Anyer Kidul, Serang, Banten pada 28 Februari 1911.

Ayah Sjafruddin, Raden Arsjad Prawiraatmadja, keturunan Sultan Banten. Sang ibu, Nur Aini binti Mas Abidin Mangundiwirya, anak pejabat pangreh praja Banten.

Meski demikian, anggapan Sjafruddin merupakan orang Minang tidak terlalu salah. Kakek buyut pria yang biasa dipanggil Kuding itu, Sutan Alamintan yang berasal dari lingkungan Kerajaan Pagaruyung Minang.

Sutan Alamintan mengorganisasi rakyat melawan Belanda dalam Perang Paderi. Perang Paderi ini terkenal dengan pemimpinnya Tuanku Imam Bonjol. Setelah ditangkap Belanda Sutan Alamintan dibuang ke Banten.

"Sutan Alam Intan adalah orang pertama yang datang ke Anyer, Banten karena dibuang setelah ditangkap Belanda," kata ahli sejarah Nadjamudin Busro. Nadjamudin menikah dengan keponakan Sjafruddin.

Sutan Alam Intan ini lalu menikah dengan seorang wanita bangsawan keturunan Kasultaan Banten. Dari hasil pernikahannya itu lalu lahirlah kakek Sjafruddin.

Dari keluarganya, darah Sjafrudin memang darah pejuang. Tidak cuma sang kakek yang melawan Belanda. Saat Sjafruddin berumur 12 tahun, sang ayah yang merupakan seorang jaksa juga dibuang ke Kediri, Jawa Timur, karena dianggap memihak pribumi.

Raden Arsjad sebagai pejabat pemerintah Belanda menolak duduk bersila di lantai saat memberi laporan kepada pejabat Belanda. Duduk bersila dan memakai bahasa Sunda halus saat itu sudah menjadi aturan baku bagi pejabat pribumi bila berhadapan dengan penguasa Belanda. Namun Arsjad menentang aturan tersebut.

Saat sang ayah dibuang ke Kediri, Sjafrudin pun mengikutinya. Dengan begitu, masa hidup presiden kedua RI yang memimpin 207 hari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tidak banyak dilewatkan di Banten.

Sosok Sjafruddin dilupakan dalam sejarah kemerdekaan RI dan kehidupannya semakin dikucilkan dari ruang publik ketika dijebloskan penjara dengan cap pemberontak karena terlibat Pemerintah Revolusioner RI (PRRI) oleh Presiden Soekarno.

Bahkan, ketika Presiden Soeharto pun sosok yang satu ini pun dianggap musuh, karena sering mengkritisi kebijakan Orde Baru. Pada Juli 1980, Sjafruddin bersama AM Fatwa, dan Bung Tomo, dilarang memberikan khutbah Idul Fitri dengan alasan kutbah mereka bisa memancing emosi masyarakat. Khutbah Sjafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' isinya 80 persen soal politik.

Senin, 22 Agustus 2011

John Lie, Pahlawan Nasional Pertama Keturunan China

Matahari baru saja terbenam saat sebuah kapal hitam menyelinap keluar dari pelabuhan kecil di Phuket, Thailand. Kapal motor berwarna hitam itu tak menyalakan lampu. Di buritannya berkibar bendera Merah Putih.

Di belakang kemudi, berdiri kapten kapal John Lie. Siapakah dia?

John Lie adalah sosok legendaris dalam organisasi penyelundup senjata yang terentang dari Filipina sampai India. Jaringan ini punya kantor rahasia di Manila, Singapura, Penang, Bangkok, Rangon dan New Delhi.

Untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang masih sangat muda, kepemilikan senjata api adalah hal mutlak. Bahkan dalam perjanjian gencatan senjata Agresi Militer Belanda I, Perdana Menteri Hatta menegaskan bahwa gencatan senjata tidak termasuk impor dan ekspor senjata oleh Republik.

Belanda tetap memberlakukan blokade terhadap Indonesia dalam rangka menghalangi kemerdekaan bekas jajahannya. Menyiasatinya, senjata diperjualbelikan dengan menembus blokade Belanda itu. Dari sanalah karier penyelundup John Lie mencapai puncaknya. Meskipun Republik muda itu tak punya dana, Lie berhasil mendapatkan senjata dengan cara barter dengan hasil bumi.

Menurut buku “The Indonesian Revolution and The Singaporean Connection”, harga senjata bervariasi. Tahun 1948, penyelundup menjual dua karabin dan ribuan magasin dengan bayaran satu ton teh. Satu senapan mesin dan ribuan magasin dihargai 2,5 ton teh, enam ton teh bisa digunakan untuk membeli enam senjata anti pesawat udara beserta ribuan magasinnya.

John Lie adalah legenda. Menurut laporan majalah Life yang terbit pada 26 September 1949, kapal Lie yang panjangnya 110 kaki (34 meter) selalu lolos dari patroli Belanda. Mengingat kapal itu tak dilengkapi senjata, meloloskan diri bukan perkara mudah. Kapal kerap dikejar sepanjang Selat Malaka, tak jarang dibombardir dengan peluru dan bom. Empat kapal lain yang sejenis telah dihancurkan Belanda.

Kapten Lie yang saat itu berusia 39 tahun, punya siasat. Kapal hitam dengan nomor registrasi PPB 58 LB itu disembunyikannya di teluk-teluk kecil sepanjang Sumatera dengan ditutupi dedaunan. Lie dan krunya lalu menunggu dalam diam hingga kapal dan pesawat Belanda menghentikan pencariannya.

Lie bergerak dengan bantuan belasan krunya, semuanya anak muda dengan usia rata-rata 21 tahun. Mereka bekerja tanpa dibayar demi patriotisme kepada Republik Indonesia. Mereka bolak -balik membeli senjata, dan menukarnya dengan hasil bumi, seperti teh, karet dan kopi.

John Lie adalah penganut Kristen yang taat. Dalam misinya dia selalu membawa dua Injil. Satu berbahasa Inggris dan satu Belanda. Meski demikian dia tak pilih-pilih; sering juga dia memasok senjata bagi para pejuang Muslim di Aceh.

Kepada wartawan majalah Life, Roy Rowan, Lie menyatakan sumpahnya "menjalankan kapal ini untuk Tuhan, negara dan kemanusiaan." Cita-citanya hanya satu: mengubah Indonesia yang saat itu adalah hutan belantara, menjadi taman surga. Menurutnya, tugas mengubah Indonesia menjadi surga adalah takdir Tuhan untuknya.

Pada Desember 1966 Lie mengakhiri kariernya di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. Sebelum itu, pada Agustus 1966 dia mengganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma. Lie meninggal karena sakit pada 27 Agustus 1988.

Tahun 2009, 21 tahun setelah kematiannya, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Gelar pahlawan nasional pertama bagi pejuang keturunan Cina.

Sumber: yahoo.com

Jumat, 08 Juli 2011

10 Film pertama Indonesia

1. Loetoeng Kasaroeng (1926)



Loetoeng Kasaroeng adalah sebuah film Indonesia tahun 1926. Meskipun diproduksi dan disutradarai oleh pembuat film Belanda, film ini merupakan film pertama yang dirilis secara komersial yang melibatkan aktor Indonesia.


2. Eulis Atjih (1927)

Sebuah film bisu bergenre melodrama keluarga, film ini disutradarai oleh G. Kruger dan dibintangi oleh Arsad & Soekria. Film ini diputar bersama-sama dengan musik keroncong yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Kajoon, seorang musisi yang populer pada waktu itu. Kisah Eulis Atjih, seorang istri yang setia yang harus hidup melarat bersama anak-anaknya karena ditinggal suaminya yang meninggalkannya untuk berfoya-foya dengan wanita lain, walaupun dengan berbagai masalah, akhirnya dengan kebesaran hatinya Eulis mau menerima suaminya kembali walaupun suaminya telah jatuh miskin.


3. Lily Van Java (1928)

Film yang diproduksi perusahaan The South Sea Film dan dibuat bulan Juni 1928. Bercerita tentang gadis yang dijodohkan orang tuanya padahal dia sudah punya pilihan sendiri. Pertama dibuat oleh Len H. Roos, seorang Amerika yang berada di Indonesia untuk menggarap film Java. Ketika dia pulang, dilanjutkan oleh Nelson Wong yang bekerja sama dengan David Wong, karyawan penting perusaahaan General Motors di Batavia yang berminat pada kesenian, membentuk Hatimoen Film. Pada akhirnya, film Lily van Java diambil alih oleh Halimoen. Menurut wartawan Leopold Gan, film ini tetap digemari selama bertahun-tahun sampai filmnya rusak. Lily van Java merupakan film Tionghoa pertama yang dibuat di Indonesia.


4. Resia Boroboedoer (1928)


Film yang diproduksi oleh Nancing Film Co, yang dibintangi oleh Olive Young, merupakan film bisu yang bercerita tentang Young pei fen yang menemukan sebuah buku resia (rahasia) milik ayahnya yang menceritakan tentang sebuah bangunan candi terkenal (Borobudur). Diceritakan juga di candi tersebut terdapat sebuah harta karun yang tak ternilai, yaitu guci berisi abu sang Buddha Gautama.

5. Setangan Berloemoer Darah (1928)

Film yang disutradarai oleh Tan Boen San, setelah pencarian di beberapa sumber, sinopsis film ini belum diketahui secara pasti.

6. Njai Dasima I (1929)

Film ini berasal dari sebuah karangan G. Francis tahun 1896 yang diambil dari kisah nyata, kisah seorang istri simpanan, Njai (nyai) Dasima yang terjadi di Tangerang dan Betawi/Batavia yang terjadi sekitar tahun 1813-1820-an. Nyai Dasima, seorang gadis yang berasal dari Kuripan, Bogor, Jawa Barat. Ia menjadi istri simpanan seorang pria berkebangsaan Inggris bernama Edward William. Oleh sebab itu, akhirnya ia pindah ke Betawi/Batavia. Karena kecantikan dan kekayaannya, Dasima menjadi terkenal. salah seorang penggemar beratnya Samiun yang begitu bersemangat memiliki Nyai Dasima membujuk Mak Buyung untuk membujuk Nyai Dasima agar mau menerima cintanya. Mak buyung berhasil membujuk Dasima walaupun Samiun sudah beristri. Hingga akhirnya Nyai Dasima disia-siakan Samiun setelah berhasil dijadikan istri muda.

7. Rampok Preanger (1929)

Ibu Ining tidak pernah menduduki bangku sekolah, tahun 1920-an adalah seorang penyanyi keroncong terkenal pada Radio Bandung (NIROM) yang sering pula menyanyi berkeliling di daerah sekitar Bandung. Kemudian ia memasuki dunia tonil sebagai pemain sekaligus sebagai penyanyi yang mengadakan pagelaran keliling di daerah Priangan Timur. Main film tahun 1928 yang berlanjut dengan 3 film berikutnya. Film-film itu seluruhnya film bisu. Ketika Halimoen Film ditutup tahun 1932, hilang pulalah Ibu Ining dari dunia film. Namun sampai pecahnya PD II, ia masih terus menyanyi dan sempat pula membuat rekaman di Singapura dan Malaya. Pada tahun 1935 ia meninggal dunia dalam usia 69 tahun karena sakit lever.

8. Si Tjonat (1929)

Cerita dalam film ini berputar pada kisah seseorang yang dijuluki si Tjonat. Nakal sejak kecil, si Tjonat (Lie A Tjip) melarikan diri ke Batavia (Jakarta) setelah membunuh temannya. Di kota ini ia menjadi jongos seorang Belanda, bukannya berterima kasih karena mendapat pekerjaan, ia juga menggerogoti harta nyai tuannya itu. Tak lama kemudian ia beralih profesi menjadi seorang perampok dan jatuh cinta kepada Lie Gouw Nio (Ku Fung May). Namun cintanya bertepuk sebelah tangan, penolakan Gouw Nio membuatnya dibawa lari oleh si Tjonat. Usaha jahat itu dicegah oleh Thio Sing Sang (Herman Sim) yang gagah perkasa.

9. Si Ronda (1930)

Film ini disutradaria oleh Lie Tek Swie & A. LOEPIAS (Director of Photography), dan dibintangi oleh Bachtiar Efendy & Momo. Film ini bercerita tentang kisah seorang jagoan perkelahian yang mengandung unsur kebudayaan Cina.




10. Boenga Roos dari Tjikembang (1931)


Film bersuara pertama di Indonesia, film ini menceritakan tentang hubungan antar etnis Cina & pribumi. Dalam film ini, The Teng Chun bertindak sebagai sutradara dan kamera. Cerita ini dikarang oleh Kwee Tek Hoay dan pernah dipentaskan Union Dalia Opera pada 1927, meskipun cuma ringkasan cerita saja, yaitu tentang Indo-Tiongha. Dan film ini diberitakan oleh pengarangnya film Cina buatan Java ini adalah karya Indo-Tiongha.



Darah dan Doa (1950), film pertama Indonesia yang dibuat oleh orang Indonesia


Darah dan Doa adalah sebuah film Indonesia karya Usmar Ismail yang diproduksi pada tahun 1950 dan dibintangi oleh Faridah. Film ini merupakan film Indonesia pertama yang sepenuhnya dibuat oleh warga pribumi. Film ini ialah produksi pertama Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), dan tanggal syuting pertama film ini 30 Maret 1950, yang kemudian dirayakan sebagai Hari Film Nasional. Kisah film ini berasal dari skenario penyair Sitor Situmorang, menceritakan seorang pejuang revolusi Indonesia yang jatuh cinta kepada salah seorang Belanda yang menjadi tawanannya.

Selasa, 06 Juli 2010

Perang Bubat

Perang Bubat adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. Sumber-sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang ini terutama adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.

Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

Jumat, 02 Juli 2010

Candi Borobudur

Borobudur merupakan salah satu keajaiban dunia yang berada di Indonesia. Bangunan kuno ini begitu banyak menyimpan sejarah. Mulai dari sejarah dibangunnya hingga terbenam akibat letusan gunung berapi dan pada akhirnya ditemukan kembali ke permukaan. "Siapa yang membangun Borobudur?" Berikut Sejarahnya:

Borobudur terletak di pulau Jawa, berjarak 40 km sebelah barat laut kota Yogyakarta, dan 7 km sebelah selatan Magelang. Dataran Kedu yang mengelilinginya sering disebut sebagai “Taman Jawa” (The Garden of Java), karena dataran ini memang sangat subur, dan penduduknya pun sangat tekun. Dataran ini dikelilingi oleh 4 buah gunung, yaitu Gunung Sumbing (3.371 m) dan Sindoro (3.135 m) di sebelah baratlaut, serta Merbabu (3.142 m) dan Merapi (2.911 m) di sebelah timurlaut.

Bangunan kuno ini merupakan stupa tertua dan juga kompleks stupa terbesar di dunia. Namanya tercatat sebagai pewarisan budaya dunia oleh UNESCO dan dianggap sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Candi Borobudur dibangun oleh Samaratungga dari Dinasti Syailendra selama kurang lebih 50 tahun, yaitu pada tahun 778 – 856 M, 300 tahun sebelum Angkor Wat (Kamboja), dan 200 tahun sebelum Notre Dame.

Konon raja Asoka-India pernah membagi relik (salira) dari Buddha Sakyamuni menjadi 84.000 butir dan menyebarkan serta menguburnya di seluruh pelosok dunia. Demi menyimpan sarira asli dari Buddha Sakyamuni, kerajaan Syailendra telah memobilisasi beberapa puluh ribu orang, barulah menyelesaikan bangunan indah nan megah dan berskala besar tersebut.

Borobudur berbentuk piramida berundak, terbagi atas 9 lapis lantai, 6 lantai bagian bawah berbentuk platform bujur sangkar, lingkaran terluarnya dipenuhi dengan galeri relief, merupakan gudang pusaka seni pahat yang tersohor di dunia, dengan panjang seluruhnya mencapai 2,5 km, sehingga Borobudur bersama dengan piramida Mesir, Tembok Besar-Tiongkok dan Angkor Wat-kambodja dinamakan sebagai 4 keajaiban kuno dari timur. Ia tersusun oleh 1.600.000 buah batu cadas gunung berapi dan dibangun di atas bukit cadas kerdil dengan 265 m ketinggian dari atas permukaan laut, adalah stupa Buddha tunggal terbesar di dunia. Asal muasal nama “Borobudur” diperkirakan dari bahasa Sansekerta yakni “Vihara Buddha Ur”, yang bermakna “kuil Buddha dari puncak gunung”.

Secara keseluruhan, tinggi Borobudur mencapai 42 m, tetapi kemudian setelah dipugar, tingginya berkurang hingga hanya 34,5 m, dan mempunyai dimensi 123 x 123 m. Borobudur mempunyai 10 lantai atau tingkat. Lantai pertama sampai keenam berbentuk segi empat, dan lantai ketujuh sampai kesepuluh berbentuk lingkaran.

Candi ini menghadap ke timur, dan terdiri dari 1.460 panel, yang masing-masing memiliki lebar 2 m. Luas seluruh dindingnya mencapai 2.500 m2, dan dipenuhi oleh relief. Jumlah panel yang memiliki relief ada 1.212. Menurut penelitian, jumlah patung Buddha sekitar 504, termasuk patung-patung yang masih utuh dan yang telah hancur. Pemugaran Borobudur sudah dilakukan sebanyak dua kali, yaitu dari tahun 1905 – 1910, dan yang terakhir pada tahun 1973 – 1983.


Saat Ditemukan

Pada 1006 dalam sebuah letusan dahsyat gunung berapi, Borobudur terkubur di bawah berlapis-lapis abu gunung berapi, situs kuno agama Buddha yang terkubur dan terlelap dalam tidurnya hingga pada suatu hari di tahun 1814 baru ditemukan kembali dari balik lebatnya hutan belantara tropis. Kala itu Raffles wakil gubernur Inggris untuk Jawa yang sedang menduduki pulau Jawa, mendengar cerita para pemburu dan penduduk tentang sebuah candi besar yang tersembunyi di dalam hutan belantara, maka ia mengutus insinyur WN-Belanda untuk melakukan survei, akhirnya Borobudur melihat kembali sinar sang surya. Pada 1973 melalui bantuan UNESCO, yang melancarkan restorasi berskala besar barulah Borobudur memancarkan wajahnya seperti yang terlihat hari ini. Kenapa Borobudur 100 tahun setelah selesai dibangun orang-orang Jawa tidak berkunjung lagi ke tempat tersebut, bahkan telah mencampakkan komplek tersebut, hingga kini masih saja merupakan sebuah misteri.









Pembangunan Borobudur Salah Desain?

Borobudur dibangun selama kurang lebih 50 tahun lamanya, melalui beberapa tahapan. Selama ini pula desain Borobudur mengalami beberapa kali perubahan.

Tahap pertama
Tahap pertama kemungkinan dimulai sekitar tahun 780 M. Pada tahap ini, bangunan kecil dengan tiga buah teras bertumpuk didirikan pada saat bangunan lainnya mulai dibangun dan kemudian dihancurkan. Bangunan ini kemungkinan awalnya dirancang sebagai sebuah piramid bertingkat.

Tahap kedua

Pada tahap ini, pondasi Borobudur diperlebar, menutupi kaki asli. Selain itu, jumlah teras juga diperbanyak, termasuk dua buah teras persegi empat dan satu buah teras bundar.

Tahap Ketiga
Perubahan yang lebih teliti dilakukan, dimana puncak teras bundar dipindahkan dan diganti dengan serangkaian tiga buah teras bundar yang baru. Stupa juga dibangun di puncak teras-teras ini.

Tahap keempat dan kelima

Ada sedikit perubahan pada monumen, termasuk penambahan relief-relief baru dan perubahan pada tangga dan patung di sepanjang jalan. Simbol pada monumen tetap sama, dan perubahan sebagian besar hanya pada dekorasinya.

Lalu, dimanakah letak kesalahan desain Candi Borobudur? Menurut Dirjen Kebudayaan, I Gusti Ngurah Anom dalam “Simposium Rahasia di Balik Keagungan Borobudur” yang diselenggarakan Dhammasena Universitas Trisakti di Jakarta, pertengahan Maret lalu, kesalahan desain itu diperbaiki dengan membuat “kaki tambahan” dan menutupi kaki aslinya. Hal ini dilakukan pada tahap kedua pembangunan Borobudur.

Adanya dua kaki itu pertama kali diketahui oleh Yzerman (1885) ketika mengadakan penelitian untuk penyelamatan Candi Borobudur dari bahaya kerusakan. Kaki tambahan seperti yang terlihat sekarang, bentuknya sangat sederhana dan sering disebut teras lebar. Teras lebar ini menutupi relief di kaki asli, yang terdiri dari 160 pigura. Di beberapa pigura terdapat tulisan singkat sebagai petunjuk ringkas bagi pemahatnya dalam huruf Jawa Kuna. Ternyata kata-kata yang dipergunakan itu juga terdapat dalam kitab Mahakarmavibhangga yang memuat cerita tentang cara kerja hukum karma dalam kehidupan.

Mengapa relief di kaki asli Candi Borobudur ditutup memang masih menjadi polemik di kalangan para arkeolog. Sebagian berpendapat bahwa penutupan ini sekedar masalah teknis agar candi itu tidak longsor, mengingat kaki aslinya sangat curam. Sebagian lagi mengatakan bahwa penutupan ini karena alasan keagamaan. Argumentasinya, karena relief di kaki asli menggambarkan kehidupan sehari-hari yang terkadang berkesan sadis, seronok, dan sebagainya. Hal ini dianggap tidak patut diketahui oleh umat Buddha yang berkunjung ke Borobudur (Kompas, 7 April 2000).

Namun apakah memang telah terjadi kesalahan desain dalam pembangunan Borobudur ini, tidak ada seorangpun yang tahu.


Patung Buddha

Pada Candi Borobudur, terdapat patung-patung Buddha dengan 6 bentuk atau mudra yang berbeda. Keenam mudra Buddha tersebut adalah:

1. Bhumisparcamudra atau “memanggil bumi untuk menyaksikan”. Posisi Buddha dimana tangan kanan menyentuh bumi, diletakkan di atas lutut kanan, dengan jari-jari menunjuk ke bawah. Mudra ini melambangkan permintaan Buddha kepada Dewa Bumi untuk menyaksikan prilakunya yang benar ketika menyangkal tuduhan Mara. Mudra ini ciri khas bagi Dhyani Buddha Aksobhya.

2. Abhayamudra. Posisi Buddha dimana tangan kanan diletakkan di atas paha kanan, dengan telapak tangan menghadap ke atas, sebuah posisi yang melambangkan upaya penghalauan terhadap rasa takut. Mudra ini merupakan Dhyani Buddha Amoghasiddi, Buddha Utara.

3. Dhyanamudra atau “meditasi”. Kedua tangan terbuka dan diletakkan di pangkuan, dimana tangan kanan berada di atas tangan kiri, dan kedua ibu jari saling menyentuh satu sama lain. Mudra ini dianggap berasal dari Amitabha, Dhyani Buddha Barat.

4. Varamudra atau “amal”. Tangan kanan diputar ke atas dan jari-jari ke bawah dan diletakkan di lutut kanan. Dhyani Buddha tersebut adalah Ratnasambhava, Buddha Selatan.

5. Virtakamudra atau posisi menimbang keputusan secara matang, digambarkan dengan posisi mengangkat tangan kanan di atas lutut kanan, dengan telapak tangan menghadap ke atas, dan ujung jari telunjuk menyentuh ibu jari. Dhyani Buddha yang dimaksud di sini adalah Budha dari semua arah.

6. Dharmacakramudra, atau “perputaran roda Hukum”, yang melambangkan kotbah pertama Sakyamuni di Taman Kijang di Benares. Kedua tangan ditahan di dada, tangan kiri di bawah tangan kanan, dan diputar ke atas dengan jari manis menyentuh ibu jari, sedangkan jari manis tangan kanan menyentuh jari kelingking kiri. Posisi tangan yang demikian memberi kesan perputaran roda, dan dihubungkan dengan Vairocana, Dhyani Buddha Puncak.

Relief pada Candi Borobudur

Hal lain yang unik dan indah yang bisa kita temui di Candi Borobudur adalah relief yang terukir di permukaan dinding-dindingnya, dan di sepanjang lorong atau jalan kecil yang terdapat di sini. Pada tahap pertama pembangunan Borobudur, terdapat serangkaian relief pada kaki bangunan. Ilustrasi teksnya diambil dari Karmavibhangga (Hukum Sebab Akibat). Teks itu mencerminkan niat baik dan imbalannya, tapi lebih menitikberatkan pada hukuman berat bagi mereka yang berniat jahat seperti membunuh hewan, berkelahi atau penjagalan.

Dinding dari galeri pertama didekorasi oleh 4 rangkaian relief: dua pada tembok serambi, dan dua pada tembok utama. Kedua rangkaian relief yang terdapat di dinding serambi diambil dari teks Jatakas, atau Kisah Kelahiran. Dongeng-dongeng ini menceritakan kehidupan Sakyamuni (Buddha Gautama) dalam berbagai inkarnasi sebelum kelahiran akhirnya sebagai manusia. Tema dari kisah-kisah ini adalah pengorbanan diri sebagai sarana memperoleh kebaikan dan kelahiran yang lebih baik pada kehidupan berikutnya, dengan mencapai nirwana sebagai tujuan akhir.

Tingkat dinding utama yang lebih rendah dihias dengan kisah kelahiran yang lain, yang menceritakan kehidupan orang-orang lain selain Sakyamuni yang juga memperoleh pencerahan. Berbeda dengan ajaran Buddha Theravada, dimana didalamnya diyakini bahwa hanya satu orang yang dapat memperoleh pencerahan pada zaman ini, para pengikut Buddha Mahayana yakin banyak makhluk yang telah mencapai tahap ini. Teks ini disebut Avadanas.

Pada tingkat dinding utama yang lebih tinggi, galeri pertamanya mempertunjukkan relief-relief yang menceritakan kehidupan Sakyamuni (Siddharta Gautama) sepanjang kehidupannya sebagai pangeran yang menjadi guru bertapa. Relief-relief ini dimulai dengan Buddha ketika berada di surga sebelum reinkarnasi terakhirnya, dan berakhir dengan upacara pertamanya di Taman Kijang di Benares. Teks ini dinamakan Lalitavista.

Rangkaian kelima dan terakhir menempati 3 galeri Borobudur sebelah atas. Teks digunakan sebagai sumber inspirasi yang disebut Gandavyuha. Ukiran ini mengandung cerita seorang pemuda, anak pedagang, bernama Sudhana, yang berguru dari satu guru ke guru lain dalam upaya mencari pencerahan. Sebagian besar relief memperlihatkan adegan pemuda itu bepergian dengan berbagai transportasi termasuk kereta kuda dan gajah, serta adegan ketika dia berlutut di hadapan para gurunya (kalayanamitra, atau “teman baik”), baik laki-laki, perempuan, anak-anak dan Bodhisattvas. Penjelajahan Sudhana berakhir di Istana Maitreya, Buddha di masa depan, di puncak gunung Sumeru, dimana dia diberi pelajaran dan memiliki berbagai pandangan.

Rangkaian terakhir relief yang terdapat di teras bagian atas diambil dari lanjutan teks ini, yang disebut Bhadracari, dimana Sudhana bersumpah untuk menjadi Bodhisattva, dan mengikuti contoh Bodhisattva tertentu bernama Samantabhadra.

Bhadracari; “Dan kemudian selanjutnya, Raja Buddha akan datang, yang akan menerima pencerahan di masa depan, seperti Raja Maitreya yang mulia dan seterusnya, dan akhirnya Samantabhadra, Sang Buddha Masa Depan”

Penempatan rangkaian relief pada tingkat paling tinggi dari candi menunjukkan bahwa ini merupakan teks yang paling dihormati oleh pendiri Borobudur. Adegan-adegan relief kelihatannya didesain untuk mendorong para pejiarah agar mengikuti contoh Sudhana ketika memanjat gunung, yang melambangkan tujuan dan sumber kebijaksanaan tertinggi.

Secara keseluruhan, tepatlah kiranya kalau kita menyebut candi yang satu ini sangat ajaib (itulah kenapa ia menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia!). Mungkin sebelumnya kita tidak pernah membayangkan, bahwa di zaman dahulu ada seorang manusia yang mampu merancang dan membangun monumen serumit, se-spektaluker, sekaligus seindah Borobudur. Bayangkan saja, batu ditumpuk satu per satu hingga membentuk sebuah bangunan tinggi nan indah. Setiap bagiannya pun memiliki makna, tidak asal desain.


Borobudur Sebagai Satu dari Tujuh Keajaiban Dunia

Borobudur pada tahun 1991 telah ditetapkan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai National Heritage Sites by UNESCO bahkan juga telah ditetapkan sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia warisan budaya manusia. Namun akhir-akhir ini kita sering mendengar bahwa sedang ada pemilihan 7 Keajaiban Dunia Yang Baru (New 7 Wonder of Nature) yang akan diumumkan pada tanggal 11 November 2011 dimana Candi Borobudur tidak masuk ke dalam nominasi pemilihan tersebut. Namun UNESCO menegaskan bahwa pemilihan New 7 Wonder of Nature tersebut bukanlah program dari UNESCO melainkan dibuat oleh organisasi swasta yang berdomisili di Munich.


Sumber:
1. “Antiquities of Central Java”, Insight Guides Indonesia, APA City Guide Publishing Company Ltd., 1993, hal. 77-78
2. “Borobudur and The Rise of Buddhism”, Indonesian Heritage: Ancient History, ed. John Miksic, Singapura: Archipelago Press, hal. 66-67
3. “Borobudur: A Prayer in Stone”, Singapura: Archipelago Press, 1990
4. “Borobudur: Form and Symbolism”, Indonesian Heritage: Ancient History, ed. John Miksic, Singapura: Archipelago Press, hal. 68-69
5. “Borobudur Pernah Salah Desain”, Kompas, 7 April 2000
6. “Candi Borobudur, Satu dari Tujuh Keajaiban Dunia”, www.kamusilmiah.com


Rabu, 30 Juni 2010

Teuku Markam, Penyumbang Emas Monas

Mungkin banyak orang telah lupa bahwa dari 38 kg emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta, 28 kg di antaranya adalah sumbangan Teuku Markam, salah seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia.

Orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Teuku Markamlah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir karya Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia. Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Markam dalam sebuah legenda.

Di zaman Orba, karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain adalah karya lain dari Teuku Markam yang didanai oleh Bank Dunia. Sampai sekarang pun, jalan-jalan itu tetap awet. Teuku Markam pernah memiliki sejumlah kapal, dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, Palembang. Ia pun tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor plat baja, besi beton sampai senjata untuk militer.

Mengingat peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit sekeluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama. Tahun 1985 ia meninggal dunia. Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir. Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.

Siapa Markam?
Teuku Markam turunan uleebalang. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).

Teuku Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain. Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.
Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.

Adalah Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menghendel masalah perekonomian Indonesia. Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena "disiriki" oleh orang lain. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.

Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya. Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor - impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.

Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno. Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.

Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain. Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.

Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba Jln Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun. Semua terjadi begitu cepat.

Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah teman setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apapun dari pemerintahan Orba. "Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak- haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.

Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI. Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari. Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut. Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs. Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.

Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus "pinjaman" yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT PP Berdikari.
Keppres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan.

Artikel Terkait:
Monumen Nasional - Monas