Mungkin sebagian di antara kita tidak akan percaya bahwa ternyata kesebelasan sepak bola Indonesia pernah masuk ke Babak Final Piala Dunia. Ternyata memang benar bahwa kesebelasan sepak bola Indonesia pernah berlaga di babak final Piala Dunia, tepatnya pada saat Piala Dunia tahun 1938. Kala itu, Indonesia masih bernama Hindia Belanda (
Dutch East Indies). Berikut ini adalah sekelumit cerita tentang keikutsertaan tim Indonesia (Hinda Belanda) ketika mengikuti pertandingan Piala Dunia tahun 1938 yang dikutip dari x.detik.com.
Suara peluit menjerit melengking mengingatkan para calon penumpang di Stasiun Den Haag bahwa kereta api siap diberangkatkan. Jarum jam hampir menunjukkan pukul 11.00. Dengan suara hiruk pikuk, serombongan penumpang bergegas naik ke kereta. Wajah mereka ceria dan penuh tawa.
Di antara para penumpang kereta di Stasiun Den Haag, Belanda, pada siang hari itu, Rabu 1 Juni 1938, penampilan mereka sungguh menarik banyak perhatian. Ada beberapa orang tak seberapa tinggi badannya dan berkulit cokelat gelap, sebagian lagi berkulit lebih terang dan bermata agak sipit, tapi ada pula yang berkulit putih dengan postur lebih tinggi.
Rombongan  penumpang dengan tujuan Prancis itu memang datang dari negeri yang sangat jauh, Nederlands-Oost-Indië atau Hindia Belanda, atau kini, Indonesia. Mereka, 17 pemain sepak bola tim nasional Hindia Belanda, akan berlaga melawan tim Hungaria di Stadion Velodrome Municipal, kota Reims, sekitar 140 kilometer arah timur laut kota Paris, Prancis, empat hari kemudian. 
Bagi 
Achmad Nawir, sang kapten, Sutan Anwar, Isaak Pattiwael, M.J. Hans Taihuttu, Tan Mo Heng, dan kawan-kawan, ini 
lah perjalanan pertama mereka ke Eropa, juga laga pertama sekaligus terakhir bagi Hindia Belanda dan Indonesia di Piala Dunia. Di depan The Magyars, julukan bagi tim Hungaria, Nawir dan teman-teman diramal bakal kalah telak. Dengan tulang punggung para pemain klub Ferencvaros, Hungaria memang menang segalanya.
Tapi menurut F. Van Bommel, Direktur Teknik Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU), Persatuan Sepak bola Hindia Belanda, Nawir dan kawan-kawan tak sudi menyerah kalah sebelum bertanding. “Kami tak akan memberikan pertandingan itu sebagai hadiah bagi tim Hungaria,” kata Van Bommel, dikutip koran Belanda, 
Alkmaarsche Courant, edisi 2 Juni 1938.
Setelah Mesir menjadi wakil pertama dari Benua Afrika di Piala Dunia 1934 di Italia, Federasi Internasional Asosiasi Sepak bola (FIFA) berharap ada wakil dari benua terbesar, Asia, pada Piala Dunia 1938 yang diselenggarakan di Prancis. FIFA mengundang Jepang dan Hindia Belanda untuk mengikuti babak kualifikasi. Hindia Belanda, yang diwakili oleh NIVB (Nederlandsch-Indische Voetbal Bond) resmi menjadi anggota FIFA pada 24 Mei 1924, lima tahun setelah berdiri. 
Ketika itu di Hinda Belanda terdapat 3 organisasi sepakbola di Hindia Belanda, yaitu: Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) milik bangsa Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) milik bangsa Tionghoa dan Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI) milik pribumi. Setelah konflik berkepanjangan di tubuh organisasi, NIVB digantikan oleh NIVU (Nederlandsch-Indische Voetbal Unie) pada pertengahan 1935. NIVU lah yang menggantikan posisi NIVB dalam menentukan pemain dari tim yang akan dibentuk untuk dikirim ke Babak Final Piala Dunia 1938. Kala itu PSSI (Persatuan Sepak raga Seluruh Indonesia) yang berdiri pada 1930 ataupun HNVB tidak ditunjuk untuk membentuk tim ini sehingga terjadilah konflik antara NIVU dengan PSSI. Akhirnya konflik reda sementara setelah kesepakatan antara Johannes C. J. Mastenbroek dengan Soeratin Sosrosoegondo yang mewakili PSSI dalam perjanjian Gentlemen's Agreement di Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 1937.
Untuk menyaring tim Piala Dunia, NIVU menggelar seleksi di sejumlah kota. Terbatasnya waktu seleksi serta persoalan biaya membuat NIVU hanya mengadakan seleksi di Pulau Jawa. PSSI sempat protes lantaran tak dilibatkan dalam seleksi, tapi Mastenbroek, sang pelatih tim Hindia Belanda, bersama teman-temannya, jalan terus. “Harapan orang-orang sangat tinggi,” Java Bode menulis soal seleksi di kota Surabaya pada pertengahan Februari, empat bulan sebelum Piala Dunia 1938. Tapi orang-orang kecewa melihat buruknya stamina para pemain.
Sepekan setelah seleksi di Surabaya, Komisi Teknik NIVU yang beranggotakan Mastenbroek, R.E. Weiss, J. Koenekoop, dan A.P. van 
Lingen, menetapkan tim yang akan mewakili Hindia Belanda ke Piala Dunia di Prancis. Salah satu koran terbesar di Hindia Belanda kala itu, 
Bataviaasch Nieuwsblad, menulis Komisi Teknik hanya memilih sebelas pemain inti dan lima pemain cadangan. Belakangan, komposisi tim itu mengalami sedikit perubahan. Jumlahnya juga berubah menjadi 17 pemain dengan enam pemain cadangan.
Di bawah mistar, ada Tan Mo Heng, dari klub HCTNH Surabaya, di depannya, dua penghalang, Frans Hu Kom dari klub tentara, Sparta Bandung, dan Jack Kolle dari Excelsior Soerabaja. 
Achmad Nawir, calon dokter dari HBS Soerabaja, siap menusuk pertahanan lawan dari sayap kiri, bersama-sama Sutan Anwar, di sisi seberang. Di barisan depan, diisi Isaak Pattiwael, Hans Taihuttu, Suvarte Soedarmadji, Tan Hong Djien, dan Henk Sommers.
* * *
Bagaimana ceritanya tim nasional sepak bola Hindia Belanda bisa 
menjadi tim negara Asia pertama yang bermain di putaran final Piala 
Dunia? Bisa dibilang, Hindia Belanda tak perlu berkeringat hingga 
menjadi satu di antara 15 tim yang berlaga di Piala Dunia 1938. 

Semula
 FIFA menjadwalkan Hindia Belanda menjalani pertandingan kualifikasi 
melawan Jepang untuk memperebutkan satu tiket Piala Dunia dari Asia. 
Tapi Jepang memilih mundur lantaran keberatan Piala Dunia digelar di 
negara Eropa. Bukannya langsung melenggang ke Prancis, setelah Jepang 
mundur, FIFA menggelar rapat. Hasilnya membuat petinggi NIVU berang.
Menurut
 FIFA, timnas Hindia Belanda mesti menjalani pertandingan kualifikasi 
melawan Amerika Serikat. Rencananya, pertandingan kualifikasi ini akan 
digelar di Rotterdam, Belanda, pada 26 Mei 1938. J.D. Hoen, bos NIVU, 
menilai keputusan FIFA tak adil bagi Hindia Belanda. “Hindia Belanda 
mestinya langsung lolos ke Prancis setelah Jepang mundur,” kata Hoen, 
dikutip 
De Telegraaf edisi 17 November 1937. Untung sekali lagi 
bagi Hindia Belanda, tim nasional Amerika menolak bertanding melawan 
mereka di Eropa. Walhasil, Hindia Belanda lolos ke Piala Dunia 1938 
tanpa melewati satu pertandingan pun.
Sebelum keberangkatan, tim 
berkeliling pulau Jawa, mulai dari Solo, Malang, hingga Batavia, untuk 
menjajal tim-tim terkuat sekaligus sebagai ajang mengasah kemampuan. 
Saat berada di Surabaya sebelum menghadapi Soerabaiasche Voetbal Bond 
(SVB) pada 18 April 1938,  diperkenalkan juga maskot tim berupa boneka 
Billiken berwarna oranye. Achmad Nawir yang ditunjuk sebagai kapten tim,
 seperti dikutip koran Surabaya berbahasa Belanda 
De Indische Courant terbitan 19 April 1938, berharap maskot tersebut membawa keberuntungan di Prancis nanti.   
Setelah
 pertandingan ujicoba terakhir melawan klub VBO di Batavia, dengan 
menumpang kapal MS Baloeran milik perusahaan Belanda, Rotterdamsche 
Lloyd, Nawir dan teman-temannya berangkat dari pelabuhan Tanjung Priuk, 
Jakarta, pada 27 April 1938. Mereka sempat mampir di pelabuhan Belawan, 
Medan, dan menjalani pertandingan uji coba melawan klub klub OSVB.
Kepada koran Belanda, 
Utrechts Volksblad,
 Van Bommel bercerita bagaimana mereka melewatkan beberapa pekan di atas
 kapal Baloeran. Berhari-hari bersama di kapal, menurut Van Bommel, 
makin merekatkan hubungan 17 pemain yang berasal dari pelbagai daerah, 
juga dari bermacam-macam keturunan. Dari 17 pemain, delapan di antaranya
 merupakan keturunan Belanda, tiga orang keturunan Tionghoa, tiga pemain
 keturunan Maluku, dua dari Sumatra, dan seorang Jawa. “Mereka jadi 
teman selama perjalanan dan solidaritas di antara mereka makin kuat,” 
kata Van Bommel. 
Perjalanan laut itu berakhir di Pelabuhan Marseille, Prancis. 
Rupanya, tim ini tak langsung ke kota Reims, lokasi pertandingan pertama
 melawan Hungaria. Rombongan dari Hindia Belanda itu justru menuju kota 
Den Haag, Belanda, dengan menggunakan kereta api Parijschen pada 18 Mei 
1938. Di Stasiun Den Haag, Karl Lotsy, Direktur Koninklijke Nederlandse 
Voetbal Bond (KNVB), organisasi sepak bola Belanda, bersama sejumlah 
pejabat lain, juga puluhan orang yang tertarik dengan kedatangan tim 
Hindia Belanda, sudah siap menyambut.
KNVB telah menyiapkan Hotel 
Duinoord di Wassenaar, daerah pinggiran Den Haag, sebagai tempat tinggal
 rombongan selama di Belanda. Selain ditempa oleh Bob Glendenning, 
pelatih KNVB, tim nasional Hindia Belanda juga sempat dua kali 
bertanding melawan klub Belanda, HBS Den Haag dan VV Haarlem. Hasilnya 
lumayan juga. Sekali seri, 2-2, dan sekali menang, 5-3.
Hingga 
sampai lah saat itu tanggal 5 Juni 1938 yang menjadi hari diselenggarakannya pertandingan antara kesebelasan Hindia Belanda dengan kesebelasan Hongaria di Stadion Velodrome (sekarang bernama Auguste Delaune), Reims, Perancis. Sejak pukul tiga siang, orang-orang sudah memadati Place Drouet d’Erlon di jantung kota Reims. Di kafe-kafe, seperti 
ditulis Algemeen Handelsblad, orang-orang berisik membicarakan tim 
Hindia Belanda, negara jajahan di belahan bumi lain yang menjadi tim pertama dari benua Asia yang bermain di Putaran Final Piala Dunia. Dua jam kemudian, tepat pukul 17.00 waktu setempat, wasit Roger Conrie meniup peluit tanda dimulainya pertandingan antara Hindia Belanda melawan 
The Magyars, Hungaria. 
Bagi
 Hungaria, ini lah kedua kalinya mereka berlaga di putaran final Piala 
Dunia. Beberapa pemain kunci seperti Gyorgy Sarosi, Vilmos Kohut, dan 
Geza Toldi merupakan ‘veteran’ Piala Dunia 1934 di Italia. Tabloid 
mingguan dari Prancis, 
Le Miroir Des Sports, edisi 8 Juni 1938 
menggambarkan pertandingan antara dua tim tersebut laksana David melawan
 Goliat. Dalam hal postur tubuh tim Hindia Belanda kalah segala-galanya.
 Baik tinggi maupun berat badan
Kalah dari segi fisik tak berarti tim Hindia Belanda yang dilatih 
Johannes Christoffel Jan Mastenbroek kalah teknik. "Dalam keahlian 
individu, pemain-pemain Hindia Belanda tampil luar biasa. Mereka punya 
kemampuan menggiring bola yang baik bahkan berani bertarung di udara," 
tulis Le Miroir. Dengan gagah berani, Nawir, Sutan Anwar, Isaak 
Pattiwael, Tan Hong Djien, memberikan perlawanan. 
Tapi mereka 
memang kalah kelas. Gol Kohut pada menit ke-13, disusul gol Toldi dua 
menit kemudian, dan gol Sarosi tak berselang lama, menamatkan perlawanan
 mereka. Wartawan 
Leidsche Courant menulis, usai gawang Tan Mo 
Heng dijebol Sarosi, semangat bertarung tim Hindia Belanda tampak 
melorot. Hungaria mengontrol penuh permainan. 
Sebenarnya 
penyerang Hindia Belanda sempat membuat gol balasan melalui Isaak. 
Cerita itu dituturkan John Izaac Minotty Pattiwael, cucu Isaak. "Tapi 
gol opa saya dianulir," kaya John kepada 
detikX. Saat wasit Conrie kembali meniup peluit panjang tanda 90 menit pertandingan usai, Hungaria unggul 6-0 dari Hindia Belanda.
‘Eervolle 6-0 Nederlaag van Indie’, Kekalahan Terhormat untuk Hindia Belanda, harian asal Medan berbahasa Belanda, 
De Sumatra Post,
 edisi Selasa 7 Juni 1938, memberikan judul untuk tulisan panjangnya 
mengenai pertandingan tim Hindia Belanda melawan The Magyars.