Gagasan awal pembangunan Monumen Nasional atau yang biasa dikenal sebagai Monas muncul setelah 9 tahun kemerdekaan RI diproklamirkan. Beberapa hari setelah HUT ke-9 RI, dibentuk Panitia Tugu Nasional yang bertugas mengusahakan berdirinya Tugu Monas. Panitia ini dipimpin Sarwoko Martokusumo, S Suhud selaku penulis, Sumali Prawirosudirdjo selaku bendahara dan dibantu oleh empat orang anggota masing-masing Supeno, K K Wiloto, E F Wenas, dan Sudiro.
Panitia itu bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan Monas, mencari biaya dari swadaya masyarakat. Setelah itu, Sukarno membentuk panitia pembangunan Monas yang dinamakan 'Tim Yuri' yang diketuai langsung olehnya.
Dalam buku 'Bung Karno Sang Arsitek' karya arsitek Yuke Ardhiati disebutkan bahwa pada 17 Februari 1955, Presiden Sukarno menggelar sebuah sayembara terbuka tentang desain sebuah tugu yang akan dibangun di Jakarta. Sayembara ditutup pada Mei 1956. Ada 51 arsitek yang mengajukan rancangan, dan hanya satu yang dipilih, yakni karya Frederich Silaban, meski sebenarnya desainnya dinilai tak memenuhi syarat bangunan tugu.
Sayembara kembali dibuka pada 10-15 Mei 1960. Kali ini pesertanya mencapai 222 orang dengan 136 desain bangunan. Sayang, tak ada satu pun yang memenuhi keinginan Sukarno. Waktu itu arsitek lulusan Technische Hogeschool (kini Institut Teknologi Bandung) itu menginginkan bangunan tugu yang mencerminkan revolusi serta kepribadian dan cita-cita rakyat Indonesia.
"(Bangunan) yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada materi yang mati,” kata Sukarno waktu itu, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Sang Arsitek karya Yuke Ardhiati.
Di hadapan peserta sayembara, Sukarno mengakui sulitnya mewujudkan ide itu dalam bentuk desain bangunan. Akhirnya, rancangan yang pernah diajukan Silaban diambil alih oleh Sukarno dan Raden Mas Soedarsono untuk dimodifikasi. Hasilnya, jadilah Tugu Monumen Nasional atau Monas seperti yang sekarang ini.
Tugu Monas mulai dibangun pada 17 Agustus 1961. Di tengah jalan, proses pembangunan tidak berjalan mulus. Peristiwa G 30 S/1965 membuat pembangunan ikon Indonesia ini terhenti. Mulai tanggal 3 September 1965, pembangunan kembali berlanjut. Hingga akhirnya monumen ini diresmikan pada 12 Juli 1975. Bangunan itu memiliki ketinggian 132 meter dengan bentuk menyerupai modifikasi artefak Lingga dan Yoni. Lingga merupakan simbol kejantanan seorang pria (phallus), dan Yoni sebagai simbol perempuan atau kesuburan. Selain melambangkan Lingga dan Yoni sebenarnya bentuk tugu Monas ini juga melambangkan alu dan cawan, alat penting yang dimiliki rakyat Indonesia, khususnya di pedesaan. Bisa pula tugu dan cawan itu perlambang negatif-positif, siang-malam, baik buruk dan dua sisi yang selalu abadi di dunia.
Sukarno mendapat inspirasi tersebut dari artefak yang ada di Candi Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah. Dia menyebut Candi Sukuh merupakan salah satu monumen yang dibangun pada zaman Hindu. “Pada waktu itu, monumen-monumen itu pencerminan dari jiwa besar Indonesia,” ujar Sukarno dalam pidato saat peletakan batu pertama pembangunan Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961.
Berat Emas Monas Saat Ini Bertambah
Bobot emas di puncak Monas awalnya seberat 32 kilogram. Namun sekarang bertambah jadi 50 kilogram. Penambahan emas ini dilakukan pada saat merayakan ulang tahun emas (50 tahun) Repulik Indonesia pada tahun 1995, pemerintah saat itu menambah jumlah emas sebanyak 18 kilogram lagi sehingga berat totalnya genap genap menjadi 50 kilogram. Lidah api atau obor di Monas mempunyai ukuran yang cukup besar, mencapai 14 meter dengan diameter 6 meter serta 77 bagian yang disatukan. Puncak yang berupa 'api yang tak kunjung padam' itu menyimbolkan semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Emas tersebut melapisi perunggu seberat 14,5 ton yang berada di bagian dalam lidah api.
Lokasi Monas Dulu Menjadi Tempat Eksekusi Mati
Dalam buku karangan Adolf Heuken SJ yang berjudul 'Historical Sites of Jakarta' disebutkan Monas pada dulu kala adalah sebuah lapangan. Dalam buku itu disebutkan, Gubernur Daendels menamai lokasi Monas sebagai 'Champ de Mars' alias tempat latihan militer di era 1800-an. Pada masa itu juga Deandels sempat memerintahkan eksekusi mati pada Kolonel F.Filz yang dianggapnya menyerah terlalu mudah pada Inggris saat memperebutkan benteng di Ambon pada tahun 1810.
Setelah itu, kawasan Monas yang dulunya bernama lapangan Koningsplein terus berevolusi. Dikutip dari National Geographic, pemerintah Belanda kala itu membangun hotel dan pacuan kuda Lapangan Koningsplein. Hal itu perlu dilakukan karena Koningsplein memiliki arti King Square atau alun-alun raja.
Fasilitas lain di Koningsplein termasuk pacuan kuda dibangun 1840-an dan pada 1850-an dibangunlah hotel, taman hiburan. Tidak salah jika kemudian Koningsplein menjadi tujuan wisata para pelancong kolonial.
Pada zaman Jepang di tahun 1942, lapangan itu diubah jadi Ikada yang merupakan singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta. Di sekitar kawasan tersebut terdapat sejumlah lapangan sepak bola milik klub sepak bola era 1940-an dan 1950-an seperti Hercules, VIOS (Voetbalbond Indische Omstreken Sport) dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas kompetisi BVO (Batavia Voetbal Organisatie). Setelah kemerdekaan, kesebelasan tersebut digantikan oleh Persija. Selain lapangan sepak bola, di sekitarnya terdapat pula lapangan hoki dan lapangan pacuan kuda untuk militer kavaleri.
Ruangan dan Bagian dari Bangunan Monas
Lidah Api
Di bagian puncak terdapat cawan yang di atasnya terdapat lidah api dari perunggu yang tingginya 17 meter dan diameter 6 meter dengan berat 14,5 ton. Lidah api ini dilapisi emas seberat 45 kg. Lidah api Monas terdiri atas 77 bagian yang disatukan.
Pelataran Puncak
Pelataran puncak luasnya 11x11 m. Untuk mencapai pelataran puncak, pengunjung bisa menggunakan lift dengan lama perjalanan sekitar 3 menit. Di sekeliling lift terdapat tangga darurat. Dari pelataran puncak Monas, pengunjung bisa melihat gedung-gedung pencakar langit di kota Jakarta. Bahkan jika udara cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Salak di Jawa Barat maupun Laut Jawa dengan Kepulauan Seribu.
Pelataran Bawah
Pelataran bawah luasnya 45x45 m. Tinggi dari dasar Monas ke pelataran bawah yaitu 17 meter. Di bagian ini pengunjung dapat melihat Taman Monas yang merupakan hutan kota yang indah.
Museum Sejarah Perjuangan Nasional
Di bagian bawah Monas terdapat sebuah ruangan yang luas yaitu Museum Nasional. Tingginya yaitu 8 meter. Museum ini menampilkan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Luas dari museum ini adalah 80x80 m. Pada keempat sisi museum terdapat 12 diorama (jendela peragaan) yang menampilkan sejarah Indonesia dari jaman kerajaan-kerajaan nenek moyang Bangsa Indonesia hingga G30S PKI.
Taman
Kompleks Monumen Nasional ini selain bangunan tugu Monas, juga terdapat sebuah taman yang merupakan hutan kota yang dirancang dengan taman yang indah.
Di taman ini kita dapat bermain bersama kawanan rusa yang sengaja didatangkan dari Istana Bogor untuk meramaikan taman ini. Taman Monas juga dilengkapi dengan kolam air mancur menari. Pertunjukan air mancur menari ini sangat menarik untuk ditonton pada malam hari. Air mancur akan bergerak dengan liukan yang indah sesuai alunan lagu yang dimainkan. Selain itu ada juga pertunjukkan laser berwarna-warni pada air mancur ini.
Kawasan Taman Monas sering dijadikan sebagai arena berolahraga bagi para pengunjung. Selain itu, bagi yang ingin menjaga kesehatan, selain berolahraga di Taman Monas, kita pun dapat melakukan pijat refleksi secara gratis. Di taman ini disediakan batu-batuan yang cukup tajam untuk dipijak sambil dipijat refleksi. Di taman ini juga disediakan beberapa lapangan futsal dan basket yang bisa digunakan siapapun.
Jika lelah berjalan kaki di taman seluas 80 hektar ini, Anda dapat menggunakan kereta wisata. Taman ini bebas dikunjungi siapa saja dan terbuka secara gratis untuk umum.
Dana Pembangunan Monas
Pembangunan Monas ini menjadi cerminan semangat gotong royong warga dari beragam suku, ras, dan agama. Selama pembangunannya, biaya diperoleh dari iuran masyarakat Nusantara, selain juga anggaran pemerintah. Salah satunya, sumbangan wajib pengusaha bioskop dari seluruh pelosok Tanah Air. Sepanjang November 1961-Januari 1962 tercatat 15 bioskop menyumbang Rp 49.193.200,01. Bioskop Parepare, Sulawesi Selatan, misalnya, menyumbang Rp 7.700,60; bioskop Watampone, Sulawesi Selatan, Rp 1.364,20; dan bioskop Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rp 884.528,85. Sedangkan Emas di puncak Monas merupakan sumbangan pengusaha Aceh, Teuku Markam.
Selain itu, Kubah anggun Masjid Istiqlal berdampingan dengan menara Katedral Jakarta menjadi latar belakang bagian barat Monas. Latar itu seakan membingkai semangat persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika, tepat di ruang pusat kekuasaan.
Pada 1972, total biaya pembangunan Tugu Monas telah mencapai Rp 358.328.107,57. Secara keseluruhan total dana yang dikeluarkan untuk membangun Monas sejak 1961 hingga 1975 adalah sebesar Rp 58 miliar rupiah.
Peresmian Monas
Dalam sejumlah sumber disebutkan Monas diresmikan pada 12 Juli 1975. Namun, dari penelusuran pemberitaan dan dokumen, tak ada acara peresmian Monas. Meski belum diresmikan, kawasan Monas telah dibuka untuk umum melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin Nomor Cb.11/1/57/72 tanggal 18 Maret 1972. Saat itu, Ali Sadikin hanya membolehkan rombongan/organisasi atau murid sekolah/mahasiswa ke ruang tenang dan ruang museum. Setiap pengunjung dikenai Rp 100.
Baru tahun 1973, Gubernur Ali Sadikin memperbolehkan pengunjung naik sampai pelataran puncak Monas.
Pada 10 Juni 1974, Ali Sadikin meresmikan taman di bagian barat Monas. Taman ini dihiasi air mancur menari. Taman itu disebut Taman Ria. Monas akhirnya dibuka untuk umum setelah diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 12 Juli 1975 ketika pembangunannya berakhir.
Sejumlah tamu negara pernah mengunjungi Monas, salah satunya Ratu Elizabeth II dan suaminya, Pangeran Philip, pada tanggal 19 Maret 1974.
Waktu Operasi Monas dan Pengelola
Monas dibuka setiap hari mulai pukul 09.00 s.d. 16.00 WIB.
Monas dikelola oleh: Pemda Provinsi DKI Jakarta
Jl. Kebon Sirih No.22 Blok H Lt.IX No.53
Jakarta Pusat
Telp: (021) 382 3041
Sumber: detik.com, kompas.com dan berbagai sumber
Panitia itu bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan Monas, mencari biaya dari swadaya masyarakat. Setelah itu, Sukarno membentuk panitia pembangunan Monas yang dinamakan 'Tim Yuri' yang diketuai langsung olehnya.
Dalam buku 'Bung Karno Sang Arsitek' karya arsitek Yuke Ardhiati disebutkan bahwa pada 17 Februari 1955, Presiden Sukarno menggelar sebuah sayembara terbuka tentang desain sebuah tugu yang akan dibangun di Jakarta. Sayembara ditutup pada Mei 1956. Ada 51 arsitek yang mengajukan rancangan, dan hanya satu yang dipilih, yakni karya Frederich Silaban, meski sebenarnya desainnya dinilai tak memenuhi syarat bangunan tugu.
Sayembara kembali dibuka pada 10-15 Mei 1960. Kali ini pesertanya mencapai 222 orang dengan 136 desain bangunan. Sayang, tak ada satu pun yang memenuhi keinginan Sukarno. Waktu itu arsitek lulusan Technische Hogeschool (kini Institut Teknologi Bandung) itu menginginkan bangunan tugu yang mencerminkan revolusi serta kepribadian dan cita-cita rakyat Indonesia.
"(Bangunan) yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada materi yang mati,” kata Sukarno waktu itu, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Sang Arsitek karya Yuke Ardhiati.
Di hadapan peserta sayembara, Sukarno mengakui sulitnya mewujudkan ide itu dalam bentuk desain bangunan. Akhirnya, rancangan yang pernah diajukan Silaban diambil alih oleh Sukarno dan Raden Mas Soedarsono untuk dimodifikasi. Hasilnya, jadilah Tugu Monumen Nasional atau Monas seperti yang sekarang ini.
Tugu Monas mulai dibangun pada 17 Agustus 1961. Di tengah jalan, proses pembangunan tidak berjalan mulus. Peristiwa G 30 S/1965 membuat pembangunan ikon Indonesia ini terhenti. Mulai tanggal 3 September 1965, pembangunan kembali berlanjut. Hingga akhirnya monumen ini diresmikan pada 12 Juli 1975. Bangunan itu memiliki ketinggian 132 meter dengan bentuk menyerupai modifikasi artefak Lingga dan Yoni. Lingga merupakan simbol kejantanan seorang pria (phallus), dan Yoni sebagai simbol perempuan atau kesuburan. Selain melambangkan Lingga dan Yoni sebenarnya bentuk tugu Monas ini juga melambangkan alu dan cawan, alat penting yang dimiliki rakyat Indonesia, khususnya di pedesaan. Bisa pula tugu dan cawan itu perlambang negatif-positif, siang-malam, baik buruk dan dua sisi yang selalu abadi di dunia.
Sukarno mendapat inspirasi tersebut dari artefak yang ada di Candi Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah. Dia menyebut Candi Sukuh merupakan salah satu monumen yang dibangun pada zaman Hindu. “Pada waktu itu, monumen-monumen itu pencerminan dari jiwa besar Indonesia,” ujar Sukarno dalam pidato saat peletakan batu pertama pembangunan Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961.
Berat Emas Monas Saat Ini Bertambah
Bobot emas di puncak Monas awalnya seberat 32 kilogram. Namun sekarang bertambah jadi 50 kilogram. Penambahan emas ini dilakukan pada saat merayakan ulang tahun emas (50 tahun) Repulik Indonesia pada tahun 1995, pemerintah saat itu menambah jumlah emas sebanyak 18 kilogram lagi sehingga berat totalnya genap genap menjadi 50 kilogram. Lidah api atau obor di Monas mempunyai ukuran yang cukup besar, mencapai 14 meter dengan diameter 6 meter serta 77 bagian yang disatukan. Puncak yang berupa 'api yang tak kunjung padam' itu menyimbolkan semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Emas tersebut melapisi perunggu seberat 14,5 ton yang berada di bagian dalam lidah api.
Lokasi Monas Dulu Menjadi Tempat Eksekusi Mati
Dalam buku karangan Adolf Heuken SJ yang berjudul 'Historical Sites of Jakarta' disebutkan Monas pada dulu kala adalah sebuah lapangan. Dalam buku itu disebutkan, Gubernur Daendels menamai lokasi Monas sebagai 'Champ de Mars' alias tempat latihan militer di era 1800-an. Pada masa itu juga Deandels sempat memerintahkan eksekusi mati pada Kolonel F.Filz yang dianggapnya menyerah terlalu mudah pada Inggris saat memperebutkan benteng di Ambon pada tahun 1810.
Setelah itu, kawasan Monas yang dulunya bernama lapangan Koningsplein terus berevolusi. Dikutip dari National Geographic, pemerintah Belanda kala itu membangun hotel dan pacuan kuda Lapangan Koningsplein. Hal itu perlu dilakukan karena Koningsplein memiliki arti King Square atau alun-alun raja.
Fasilitas lain di Koningsplein termasuk pacuan kuda dibangun 1840-an dan pada 1850-an dibangunlah hotel, taman hiburan. Tidak salah jika kemudian Koningsplein menjadi tujuan wisata para pelancong kolonial.
Pada zaman Jepang di tahun 1942, lapangan itu diubah jadi Ikada yang merupakan singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta. Di sekitar kawasan tersebut terdapat sejumlah lapangan sepak bola milik klub sepak bola era 1940-an dan 1950-an seperti Hercules, VIOS (Voetbalbond Indische Omstreken Sport) dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas kompetisi BVO (Batavia Voetbal Organisatie). Setelah kemerdekaan, kesebelasan tersebut digantikan oleh Persija. Selain lapangan sepak bola, di sekitarnya terdapat pula lapangan hoki dan lapangan pacuan kuda untuk militer kavaleri.
Ruangan dan Bagian dari Bangunan Monas
Lidah Api
Di bagian puncak terdapat cawan yang di atasnya terdapat lidah api dari perunggu yang tingginya 17 meter dan diameter 6 meter dengan berat 14,5 ton. Lidah api ini dilapisi emas seberat 45 kg. Lidah api Monas terdiri atas 77 bagian yang disatukan.
Pelataran Puncak
Pelataran puncak luasnya 11x11 m. Untuk mencapai pelataran puncak, pengunjung bisa menggunakan lift dengan lama perjalanan sekitar 3 menit. Di sekeliling lift terdapat tangga darurat. Dari pelataran puncak Monas, pengunjung bisa melihat gedung-gedung pencakar langit di kota Jakarta. Bahkan jika udara cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Salak di Jawa Barat maupun Laut Jawa dengan Kepulauan Seribu.
Pelataran Bawah
Pelataran bawah luasnya 45x45 m. Tinggi dari dasar Monas ke pelataran bawah yaitu 17 meter. Di bagian ini pengunjung dapat melihat Taman Monas yang merupakan hutan kota yang indah.
Museum Sejarah Perjuangan Nasional
Di bagian bawah Monas terdapat sebuah ruangan yang luas yaitu Museum Nasional. Tingginya yaitu 8 meter. Museum ini menampilkan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Luas dari museum ini adalah 80x80 m. Pada keempat sisi museum terdapat 12 diorama (jendela peragaan) yang menampilkan sejarah Indonesia dari jaman kerajaan-kerajaan nenek moyang Bangsa Indonesia hingga G30S PKI.
Taman
Kompleks Monumen Nasional ini selain bangunan tugu Monas, juga terdapat sebuah taman yang merupakan hutan kota yang dirancang dengan taman yang indah.
Di taman ini kita dapat bermain bersama kawanan rusa yang sengaja didatangkan dari Istana Bogor untuk meramaikan taman ini. Taman Monas juga dilengkapi dengan kolam air mancur menari. Pertunjukan air mancur menari ini sangat menarik untuk ditonton pada malam hari. Air mancur akan bergerak dengan liukan yang indah sesuai alunan lagu yang dimainkan. Selain itu ada juga pertunjukkan laser berwarna-warni pada air mancur ini.
Kawasan Taman Monas sering dijadikan sebagai arena berolahraga bagi para pengunjung. Selain itu, bagi yang ingin menjaga kesehatan, selain berolahraga di Taman Monas, kita pun dapat melakukan pijat refleksi secara gratis. Di taman ini disediakan batu-batuan yang cukup tajam untuk dipijak sambil dipijat refleksi. Di taman ini juga disediakan beberapa lapangan futsal dan basket yang bisa digunakan siapapun.
Jika lelah berjalan kaki di taman seluas 80 hektar ini, Anda dapat menggunakan kereta wisata. Taman ini bebas dikunjungi siapa saja dan terbuka secara gratis untuk umum.
Dana Pembangunan Monas
Pembangunan Monas ini menjadi cerminan semangat gotong royong warga dari beragam suku, ras, dan agama. Selama pembangunannya, biaya diperoleh dari iuran masyarakat Nusantara, selain juga anggaran pemerintah. Salah satunya, sumbangan wajib pengusaha bioskop dari seluruh pelosok Tanah Air. Sepanjang November 1961-Januari 1962 tercatat 15 bioskop menyumbang Rp 49.193.200,01. Bioskop Parepare, Sulawesi Selatan, misalnya, menyumbang Rp 7.700,60; bioskop Watampone, Sulawesi Selatan, Rp 1.364,20; dan bioskop Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rp 884.528,85. Sedangkan Emas di puncak Monas merupakan sumbangan pengusaha Aceh, Teuku Markam.
Selain itu, Kubah anggun Masjid Istiqlal berdampingan dengan menara Katedral Jakarta menjadi latar belakang bagian barat Monas. Latar itu seakan membingkai semangat persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika, tepat di ruang pusat kekuasaan.
Pada 1972, total biaya pembangunan Tugu Monas telah mencapai Rp 358.328.107,57. Secara keseluruhan total dana yang dikeluarkan untuk membangun Monas sejak 1961 hingga 1975 adalah sebesar Rp 58 miliar rupiah.
Peresmian Monas
Dalam sejumlah sumber disebutkan Monas diresmikan pada 12 Juli 1975. Namun, dari penelusuran pemberitaan dan dokumen, tak ada acara peresmian Monas. Meski belum diresmikan, kawasan Monas telah dibuka untuk umum melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin Nomor Cb.11/1/57/72 tanggal 18 Maret 1972. Saat itu, Ali Sadikin hanya membolehkan rombongan/organisasi atau murid sekolah/mahasiswa ke ruang tenang dan ruang museum. Setiap pengunjung dikenai Rp 100.
Baru tahun 1973, Gubernur Ali Sadikin memperbolehkan pengunjung naik sampai pelataran puncak Monas.
Pada 10 Juni 1974, Ali Sadikin meresmikan taman di bagian barat Monas. Taman ini dihiasi air mancur menari. Taman itu disebut Taman Ria. Monas akhirnya dibuka untuk umum setelah diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 12 Juli 1975 ketika pembangunannya berakhir.
Sejumlah tamu negara pernah mengunjungi Monas, salah satunya Ratu Elizabeth II dan suaminya, Pangeran Philip, pada tanggal 19 Maret 1974.
Waktu Operasi Monas dan Pengelola
Monas dibuka setiap hari mulai pukul 09.00 s.d. 16.00 WIB.
Monas dikelola oleh: Pemda Provinsi DKI Jakarta
Jl. Kebon Sirih No.22 Blok H Lt.IX No.53
Jakarta Pusat
Telp: (021) 382 3041
Sumber: detik.com, kompas.com dan berbagai sumber
Artikel Terkait:
Teuku Markam, Penyumbang Emas Monas
1 komentar
nice info lengkap sekali infonya
Elever Agency
Posting Komentar