Bocah itu meringis hingga matanya tampak segaris. Tubuhnya ditekuk ke belakang, lalu bak karet, dia melenting ke depan. Kakinya dibentangkan rata dengan lantai. Di satu tiang, ada rekannya bergelantungan. Tubuh para bocah, usia 4 sampai 7 tahun itu, berayun-ayun. Di bagian lain, ada bocah terlentang di lantai. Kakinya dilipat ke depan, hingga betisnya menyentuh pipi.
Di sebuah gymnastic hall di Zhe Jiang, salah satu provinsi China, para bocah itu dididik keras. Kadang terdengar mereka menangis. Cara mereka berlatih, mengingatkan orang pada kerasnya latihan kungfu di biara Shaolin. Pagi malam hari pun mereka masih bertelanjang dada di sanggar itu. Berdiri dengan dua tangan. Kepala terjungkir, dan kaki menjulang.
Setiap tahun, lebih dari 30 anak berlatih dengan keras di sana.
Seorang pelatih, dia dipanggil “Paman” Xia, mengawasi anak-anak itu. Bak seorang guru kungfu, dia membenarkan semua gerakan. Yang salah dihukum dengan berdiri terbalik tadi. Sanggar senam di Zhe Jiang itu, barangkali menjadi jendela bagi siapa saja yang hendak melongok cara China menggembleng para atletnya. Disiplinnya keras. Mereka kadang berlatih sampai batas tak tertanggungkan.
Dengan latihan segila itu, China pun memukau dunia. Pada Olimpiade 2012 di London sekarang ini, misalnya, para atlet senam China menyabet 12 medali: 5 emas, 4 perak, dan 3 perunggu.
Zou Kai, pesenam belia China, menyabet tiga medali. Dua emas di nomor lantai dan tim, serta satu perunggu untuk palang tunggal. Di nomor palang tunggal itu, Zou gagal meraih emas. Dia tak semujur di Olimpiade Beijing 2008. Meksi begitu, China tetap bangga. Zou menyumbangkan lima emas bagi negeri itu.
Atlet China tak hanya berjaya di senam. Di cabang renang, mereka sangat handal. Seorang pelatih renang asal Inggris di China menulis di Guardian: “Atlet China berlatih sangat keras. Lebih keras dibandingkan yang bisa saya tulis dengan kata-kata,” ujarnya di harian terbitan Inggris itu. Dia telah membawa perenang di lima tim Olimpiade berbeda, tapi dia tak pernah melihat atlet berlatih seperti di China di mana pun di dunia.
“Mereka sangat bernafsu dan bekerja keras. Mereka bisa menahan rasa sakit lebih lama dibandingkan atlet-atlet barat. Mereka dijamin akan datang dalam setiap waktu latihan dan memberikan segalanya. Mereka sangat bangga dengan negaranya. Mereka bangga mewakili China dan memiliki mentalitas untuk fokus sebagai tim,” dia menambahkan.
Di Olimpiade 2012, para atlet renang China tampil gemilang. Mereka menggondol 10 medali: 5 emas, 2 perak, dan 3 perunggu.
Seorang atlet renang China, Ye Shiwen, punya kisah bagaimana dia ditabalkan menjadi atlet nasional. Suatu kali, guru di sekolah Shiwen melihat dia berbakat menjadi perenang. Telapak tangan dan kakinya lebih lebar dari anak-anak lain. Pihak sekolah lalu memasukkan Shiwen ke sekolah renang.
Sepanjang hari, dia dicekoki iman baru: medali emas sebagai tujuan hidup. Medali emas bagi negeri China itu, adalah semacam nasib bagi hidupnya. Sejak itu, dia hidup dalam pengawasan latihan ketat, bak robot yang siap diprogram meraih medali untuk negaranya. Gadis 16 tahun itu berlatih 16 jam per hari.
Hasilnya Shiwen menyikat medali emas di nomor gaya ganti perorangan 200 dan 400 meter. Dia juga membuat heboh Aquatics Centre. Medali emas di nomor gaya bebas 400 meter itu sekaligus mencatat rekor dunia baru, dengan waktu 4:28:43 menit. Dia lebih cepat 0,07 detik dari atlet Ryan Lochte di 50 meter terakhir.
Saat berlaga di nomor 200 meter, Shiwen bahkan tetap memukau. Di 50 meter terakhir, di mengiris rekor baru pula. Dara berpostur 172 sentimeter itu mencatatkan waktu 29,75 detik. Dia mematahkan torehan waktu jawara AS, Michael Phelps, di babak final putra. (Baca juga Perenang Putri ABG Peraih Emas Olimpiade)
Barangkali, karena kedahsyatan Shiwen itu, ada isu tak enak. Dia dikira memakai doping. Direktur Eksekutif Asosiasi Pelatih Renang Dunia, John Leonard, misalnya, mengatakan dalam catatan sejarah olahraga, setiap kali ada perolehan fantastis pasti berujung kasus doping. Shiwen jelas tersinggung dengan dugaan ini.
“Pelatih itu tidak profesional. Jika perenang asing meraih hasil ini, maka mereka mengatakannya keajaiban. Tapi, saya tak terpengaruh tuduhan itu,” ujar Shiwen kepada kantor berita Xinhua.
Mungkin tuduhan Leonard itu agak ngawur. Soalnya, prestasi serupa juga diraih oleh Sun Yang. Atlet renang China ini menggondol dua emas di nomor gaya bebas 400 meter dan 1.500 meter putra. Di nomor gaya bebas 1.500 meter, pemuda Hangzhou berusia 20 tahun itu, mencatatkan rekor baru: 14 menit 31,02 detik.
Lalu, apa rahasia atlet China di cabang olahraga lain? Pelatih kepala tim tenis meja China, Shi Zhihao mengatakan kunci sukses mereka di latihan keras. "Pemain China berlatih 3-4 jam setiap hari, sedangkan pemain Eropa cuma 1-1,5 jam saja,” kata Shi kepada Reuters.
Zhihao tak sekadar sesumbar. Di cabang tenis meja, China menyapu bersih medali emas. Negeri Tirai Bambu menyabet 4 medali emas dari 4 sektor dipertandingkan. Di tunggal putra, dan tunggal putrid, sesama atlet China justru bertemu di final. Zhang Jike merebut emas dari tunggal putra, sedangkan Li Xiaoxia meraih emas untuk tunggal putri. China juga berjaya di beregu putri dan putra.
Di bulutangkis, satu cabang yang memang dikuasi China sejak lama, latihan keras juga menjadi standar. Pemain berbakat direkrut sejak dini, sejak umur 4 tahun, mereka dididik keras. Negara menyokong biaya, dan menyediakan pelatih. Mereka diajar menguasai lapangan, mengatur kekuatan dan serangan. Psikologi permainan dipelajari, juga stamina. Setiap hari, mereka berlari keliling lapangan bulutangkis selama 4 jam.
Buktinya terlihat di London. Saat Indonesia gagal menggaet satu pun medali di bulutangkis, China menyapu bersih emas. Babak pertarungan pamungkas adalah di ganda putra Cai Yun/Fu Haifeng, yang berhasil mengalahkan atlet Denmark, Mathias Boe/Carsten Morgensen dengan 21-16, 21-15.
Sebelumnya, tunggal putra nomor satu dunia Lin Dan juga menyabet emas setelah menundukkan pebulutangkis Malaysia, Lee Chong Wei dengan 15-21, 21-10, 19-21. Sehari sebelumnya, tunggal putri China, Li Xuerui dan pasangan ganda putri China, Tian Qing/Zhao Yunlei sukses merenggut emas. Di ganda campuran, Nan Zhang/Yunlei Zhao melengkapi kedigdayaan China. (Baca juga “China Sapu Bersih Emas Bulutangkis).
Bukan instan
Jalan China berjaya di olahraga tak semudah membalik telapak tangan. Ikut pertama kali di Olimpiade Helsinki 1952, China pulang dengan tangan kosong. China juga sempat dilanda kemelut politik, dan absen lama sampai Olimpiade 1984 di Los Angeles, Amerika Serikat. Baru di Los Angeles, China meraih 15 emas. Tapi itu dicapai saat Uni Soviet dan Jerman Timur memboikot olimpiade.
Di Olimpiade 1988 Seoul, prestasi China anjlok. Mereka hanya sanggup meraih 11 emas, dan bertengger di posisi ke 11. Sejak itu, China melakukan koreksi. Mereka menargetkan emas di tiap olimpiade. Sejak terpuruk di Seoul itu, Beijing menggelontorkan dana sebesar $260 juta, atau setara Rp2,46 triliun untuk program olahraga, seperti dilansir factsanddetails.com.
Lalu, ratusan juta dolar itu dihabiskan membangun akademi olahraga, mencari pemandu bakat, psikolog, pelatih asing, serta teknologi dan ilmu pengetahuan terbaru. Cabang olah raga andalan China, seperti menembak, senam, renang, dayung, dan atletik mendapat perhatian besar.
Hasilnya tak sia-sia. Pada Olimpiade 1992 Barcelona, China melesat ke posisi 4, dengan 16 emas, di bawah Uni Soviet (45 emas), AS (37 emas) dan Jerman (33 emas). Sejak itu, China merangkak naik. Di Olimpiade 1996 Atlanta, China bertahan di posisi 4 (16 emas). Di Sydney, naik ke peringkat 3, dengan 28 emas, 16 perak, dan 14 perunggu.
Taring China mulai terlihat di Olimpiade Athena 2004. Mereka berhasil menggeser Rusia, sebagai runner-up. China mendapat 32 emas, di bawah AS sebagai juara umum dengan 36 emas. Pada 2008, sebagai tuan rumah olimpiade, China melesat menjadi juara umum.
Latihan keras itu pun berbuah manis. Menggabungkan gaya modern dan tradisional, plus pendekatan keras gaya komunisme era Soviet, China berhasil membentuk atlit mereka. Sistem Soviet itu kini pelan-pelan ditinggalkan.
Soalnya, kebijakan satu anak tiap keluarga membuat orang tua enggan menyerahkan anak mereka ke pemerintah. Apalagi, jika usai berlatih, tak dibekali keterampilan.
Itu sebabnya, China kini mencoba seperti Amerika Serikat, yang mengawinkan olahraga dengan pendidikan di kampus. Meskipun belum sepenuhnya berhasil, tapi cara ini sedang dikembangkan. Tapi toh, cara tradisional otoriter itu masih tetap dipakai, apalagi jurus itu terbukti sukses hari ini.
Di Gymnasium di Nanning, misalnya, ada tulisan kata “Emas” tercetak di dinding tempat latihan. Setiap hari para atlit senam yang menekuk tubuhnya sampai batas tak tertanggungkan itu, harus mengingatnya: bahwa takdir hidup mereka adalah menjadi terbaik di dunia. (np)
Sumber: VIVA.co.id
1 komentar
China memang terkenal dengan olhraga senamnya apalagi dalam hal kelenturan tubuh para pemainnya. Tp bukan berarti China selalu menang dalam setiap olimpiade senam yang diadakan. Dalam hal fashion mereka juga sering menampilkan baju senam terbaru untuk menunjang penampilan mereka
Posting Komentar