Pages

Label

Arti Nomor Rangka Mesin

Kita semua mungkin pernah membaca no rangka kendaraan milik kita sebagaimana yang tercantum dalam STNK/ BPKB. Namun banyak yang belum tahu apa arti kode rangka kendaraan tersebut. No mesin dan No rangka/chassis merupakan nomor yang digunakan untuk mengidentifikasi setiap unit kendaraan bermotor.

Asal Usul Marga Tionghoa

Asal usul Marga Tionghoa dapat ditelusuri mulai dari 5,000 tahun yang lalu pada zaman “San Huang Wu Di” yang pada awalnya mengikuti garis keturunan Ibu yang disebut dengan “Xing [姓]” hingga pada Dinasti Xia, Shang dan Zhou munculah Marga Tionghoa menurut status sosial yang disebut dengan “Shi [氏]”.

36 Strategi Perang

36 Strategi San Shi Liu Ji [三十六计] merupakan salah satu maha karya yang berasal dari daratan China yang membahas tentang strategi-strategi kemiliteran. Karya 36 Strategi Perang ini sangat terkenal dan telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta banyak diterapkan oleh para pebisnis untuk memenangi persaingan dalam dunia bisnis.

Sejarah Dibubarkannya Monarki Perancis

Lukisan ilustrasi Revolusi Prancis karya Jean-Pierre Houë Tepat 220 tahun yang lalu, Revolusi Perancis memasuki babak penting: dibubarkannya monarki. Pembubaran ini diputuskan oleh Majelis Legislatif yang mendukung gerakan revolusi rakyat. Menurut The History Channel, dengan demikian Perancis tidak lagi diperintah raja saat Majelis menyepakati pembentukan Republik Pertama.

John Lie, Pahlawan Nasional Pertama Keturunan China

Matahari baru saja terbenam saat sebuah kapal hitam menyelinap keluar dari pelabuhan kecil di Phuket, Thailand. Kapal motor berwarna hitam itu tak menyalakan lampu. Di buritannya berkibar bendera Merah Putih. Di belakang kemudi, berdiri kapten kapal John Lie. Siapakah dia?

Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 Agustus 2022

Achmad Nawir, Kapten Kesebelasan Indonesia di Piala Dunia 1938

Indonesia ketika masih bernama Hindia Belanda, pernah masuk ke Babak Final Piala Dunia, yaitu pada Piala Dunia tahun 1938 yang diselenggarakan di Perancis (kisahnya dapat dibaca di Artikel Ini). Beberapa orang yang dipilih sebagai pemain tim Hindia Belanda ini adalah Tan Mo Heng (dari klub HCTNH Surabaya) sebagai kiper, Frans Hu Kom (dari klub tentara, Sparta Bandung), dan Jack Kolle (dari Excelsior Soerabaja) sebagai bek. Achmad Nawir (calon dokter dari HBS Soerabaja) sebagai pemain sayap kiri. Sutan Anwar, sebagai pemain sayap kanan. Dan di barisan depan, diisi Isaak Pattiwael, Hans Taihuttu, Suvarte Soedarmadji, Tan Hong Djien, dan Henk Sommers.

Saat itu, Achmad Nawir ditunjuk sebagai kapten kesebelasan oleh pelatih tim, Johannes Christoffel Jan Mastenbroek. Achmad Nawir menjadi pemain sepakbola pertama yang tampil di Final Piala Dunia yang berkacamata (sebelum Edgar Davids pada tahun 1998).

Profil Achmad Nawir

Lahir di daerah Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 1 Januari 1911. Selain merupakan seorang dokter, Achmad Nawir adalah merupakan pemain sepakbola kelas internasional.

Sebelum berkarier sebagai pesepak bola, Achmad Nawir merupakan mahasiswa kedokteran di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) Surabaya sejak 1929 dan lulus menjadi dokter pada tahun 1939.

Memulai karir sebagai pemain sepakbola di tim Houd Braef Stand (HBS) Soerabaja. Sepulangnya dari Piala Dunia 1938 di Perancis, ia kembali berkecimpung dalam dunia kedokteran yang digelutinya sembari terus memberikan sumbangsihnya dalam dunia sepakbola nasional.

Profesi dokter dan pemain sepak bola dijalani Achmad Nawir secara berbarengan hingga akhirnya Jepang menduduki Tanah Air pada 1942 Kekuasaan Jepang di Indonesia membuat kompetisi sepak bola lokal terhenti. Achmad Nawir pun terjun ke medan perang sebagai tim medis. Dengan keilmuwannya, beliau berjibaku menyelamatkan nyawa banyak orang.

Achmad Nawir berkacamata berdiri di kiri

Setelah Indonesia merdeka, Achmad Nawir mendirikan klinik rawat inap di di Jalan Raya Darmo 26, Surabaya. Selain sibuk dengan aktivitas sebagai seorang dokter, Achmad Nawir tetap berkecimpung di dunia sepakbola baik sebagai pelatih maupun sebagai dokter PSSI

Sampai akhir hayatnya di April 1995, Achmad Nawir tetap aktif mengkontribusikan pikiran dan tenaganya untuk kemajuan PSSI dan Persebaya.

Achmad Nawir memiliki seorang putra bernama Ferril Nawir yang saat ini menjadi seniman batik di Amerika Serikat.

Selasa, 14 September 2021

Kronologis dan Perkembangan Amandemen UUD 1945

Amandemen UUD 1945 telah dilaksanakan oleh MPR sejak tahun 1999 sebanyak empat kali. Dikutip dari buku 'UUD 1945 dan Amandemennya untuk Pelajar dan Umum' oleh Tim Grasindo, Amandemen UUD 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD, dan bukan untuk mengganti.

Amandemen UUD 1945 diadakan dengan aturan atau kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yakni tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan NKRI, mempertegas sistem pemerintahan presidensial, serta penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal atau batang tubuh.

Amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua fraksi di MPR. Proses perubahan lalu dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal yang lebih sulit untuk memperoleh kesepakatan.

Hasil Amandemen UUD 1945 yakni sebagai berikut:

1. Amandemen UUD 1945 yang pertama

Amandemen UUD 1945 yang pertama dilaksanakan pada Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999.

Hasil Amandemen UUD 1945 yang pertama meliputi 9 pasal dan 16 ayat sebagai berikut:

- Pasal 5 Ayat 1: Hak presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR
- Pasal 7: Pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden
- Pasal 9 Ayat 1 dan 2: Sumpah presiden dan wakil presiden
- Pasal 13 Ayat 2 dan 3: Pengangkatan dan penempatan duta
- Pasal 14 Ayat 1: Pemberian grasi dan rehabilitasi
- Pasal 14 Ayat 2: Pemberian amnesti dan abolisi
- Pasal 15: Pemberian gelar, tanda jasa, dan kehormatan lain
- Pasal 17 Ayat 2 dan 3: Pengangkatan menteri
- Pasal 20 Ayat 1-4: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
- Pasal 21: Hak DPR untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU)

2. Amandemen UUD 1945 yang kedua

Amandemen UUD 1945 yang kedua dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000. Perubahan kedua UUD 1945 ditetapkan pada 18 Agustus 2000.

Hasil Amandemen UUD 1945 yang kedua meliputi 27 Pasal dalam 7 Bab sebagai berikut:

- Bab VI mengenai Pemerintah Daerah
- Bab VII mengenai Dewan Perwakilan Daerah
- Bab IXA mengenai Wilayah Negara
- Bab X mengenai Warga Negara dan Penduduk
- Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia
- Bab XII mengenai Pertahanan dan Keamanan
- Bab XV mengenai Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

3. Amandemen UUD 1945 yang ketiga

Amandemen UUD 1945 yang ketiga dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001. Perubahan ketiga terhadap UUD 1945 ditetapkan tanggal 9 November 2001.

Hasil Amandemen UUD 1945 yang kedua meliputi 23 Pasal dalam 7 Bab sebagai berikut:

- Bab I mengenai Bentuk dan Kedaulatan
- Bab II mengenai MPR
- Bab III mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara
- Bab V mengenai Kementerian Negara
- Bab VIIA mengenai DPR
- Bab VIIB mengenai Pemilihan Umum
- Bab VIIIA mengenai BPK

4. Amandemen UUD 1945 yang keempat

Amandemen UUD 1945 yang keempat dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-11 Agustus 2002.

Hasil Amandemen UUD 1945 yang kedua meliputi 19 Pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta 1 butir yang dihapuskan. Hasil Amandemen UUD 1945 yang keempat menetapkan:

- UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat adalah UUD 1945 yang pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
- Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat paripurna MPR RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
- Bab IV tentang "Dewan Pertimbangan Agung" dihapuskan dan pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang "Kekuasaan Pemerintahan Negara"

Jumat, 25 Juni 2021

Sejarah Universitas Indonesia

Salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini, Universitas Indonesia punya sejarah panjang. Kampus yang berlokasi di Depok, Jawa Barat tersebut juga merupakan cikal bakal sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Berawal dari masa kolonial dibangun sebuah sekolah tinggi ilmu kesehatan pada tahun 1849. Pada Januari 1851, sekolah tersebut secara resmi dinamakan sebagai Dokter-Djawa School yang mengkhususkan pada ilmu kedokteran, tepatnya pendidikan tenaga mantri, sebagaimana yang disajikan dalam laman Universitas Indonesia.

Tahun 1898, Dokter-Djawa School berubah menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen (School of Medicine for Indigenous Doctors) atau STOVIA. STOVIA selama 75 tahun berfungsi sebagai tempat pendidikan terbaik untuk calon dokter di Indonesia, sebelum ditutup pada 1927.

Sebuah Sekolah Kedokteran kemudian dibangun bersama dengan empat sekolah tinggi lain di beberapa kota di Jawa. Sekolah tinggi tersebut adalah Technische Hoogeschool te Bandoeng (Fakultas Teknik) yang berdiri di Bandung pada 1920, dan Recht Hoogeschool (Fakultas Hukum) di Batavia pada 1924.

Lalu pada 1940, Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Kemanusiaan) didirikan di Batavia. Setahun kemudian, Faculteit van Landbouwweteschap (Fakultas Pertanian) dibangun di Bogor.

Lima sekolah tinggi tersebut merupakan pilar dalam menciptakan Nood-universiteit (Universitas Darurat), yang dibangun pada tahun 1946.

Nood-universiteit berganti nama menjadi Universiteit van Indonesië pada tahun 1947 dan berpusat di Jakarta. Pada tanggal 2 Februari 1950, namanya berubah menjadi "Universiteit Indonesia". Pada saat itu Universiteit Indonesia dipimpin oleh presiden (saat ini disebut sebagai rektor) yang pertama yaitu Ir. R.M. Pandji Soerachman Tjokroadisoerio.

Universiteit Indonesia atau UI lantas mempunyai Fakultas Kedokteran, Hukum, Sastra dan Filsafat di Jakarta. Sementara itu, Fakultas Teknik terletak di Bandung, dan Fakultas Pertanian di Bogor. Adapun Fakultas Kedokteran Gigi terletak di Surabaya, serta Fakultas Ekonomi ada di Makasar.

Fakultas-fakultas yang berada di luar Jakarta kemudian berkembang menjadi universitas-universitas terpisah di antara tahun 1954-1963.

Fakultas-fakultas yang kelak menjadi perguruan tinggi saudara dari Universitas Indonesia tersebut salah satunya Faculteit der Geneeskunde (Fakultas Kedokteran) dan Universitaire Instituut van Tandheelkunde (Lembaga Kedokteran Gigi) di Surabaya, yang menjadi Universitas Airlangga atau Unair pada 1954.

Sementara itu, Faculteit der Economische Wetenschap (Fakultas Ekonomi) di Makassar dilepaskan dan menjadi bagian dari Universitas Hasanuddin atau Unhas 1956.

Adapun Fakultas Teknik dilepas dan digabung dengan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam menjadi Institut Teknologi Bandung atau ITB pada 1959.

Sementara itu, Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Hewan, dan Fakultas Peternakan dan Perikanan Laut di Bogor dilepas dan digabung menjadi Institut Pertanian Bogor atau IPB University pada 1963.

Universitas Indonesia di Jakarta mempunyai kampus di Salemba dan terdiri dari beberapa Fakultas seperti: Kedokteran, Kedokteran Gigi, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Sastra, Hukum, Ekonomi, dan Teknik.

Pada perkembangan selanjutnya berdirilah Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kesehatan Masyarakat, llmu Komputer dan kemudian Fakultas Keperawatan.

Pada tahun 1988 sebagian besar kampus pindah ke kampus baru yang didirikan di Depok dengan luas 320 hektar, sementara kampus Salemba diperuntukkan bagi Pasca-Sarjana. Kampus di Rawamangun diberikan kepada IKIP Jakarta, yang kemudian berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Senin, 01 Juni 2020

1 Juni Hari Lahirnya Pancasila

Pancasila adalah merupakan dasar Negera Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila yang terdiri dari 5 sila yang merupakan salah satu pilar kebangsaan Indonesia. Dan Pemerintah juga sudah menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Lalu bagaimanakah sejarahnya sehingga tanggal 1 Juni ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila? Berikut ini Ensikloped akan ceritakan sejarahnya.
Diawali dengan dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai) pada tanggal 1 Maret 1945 sebagai respon dari pemberian janji kemerdekaan dari Jepang untuk bangsa Indonesia. Saat itu, Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso.

Rapat pertama BPUPKI diadakan pada tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Rapat digelar di gedung Chuo Sangi In, Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal sebutan Gedung Pancasila. Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945. Sebagai Ketua BPUPKI, Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dalam pidato pembukaannya antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota-anggota rapat, "Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?" dan pembahasan dimulai keesokan harinya 29 Mei 1945 dengan tema dasar negara.

Kemudian pada keesokan harinya (tanggal 29 Mei 1945), Mr. Mohammad Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI. Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:
  1. Peri Kebangsaan
  2. Peri Kemanusiaan
  3. Peri ke-Tuhanan
  4. Peri Kerakyatan
  5. Kesejahteraan Rakyat

Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia.

Selain usulan lisan, Muh. Yamin (sebagaimana yang dituliskan dalam 3 jilid buku yang disusun oleh Muh. Yamin "Naskah Persiapan UUD 1945") tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
  3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Kemudian pada tanggal 31 Mei 1945, Dr. Soepomo pun menyampaikan rumusan dasar negaranya, namun rumusan ini tidak disertai penyebutan nama dasar negara, yaitu:
  1. Persatuan
  2. Kekeluargaan
  3. Keseimbangan lahir dan batin
  4. Musyawarah
  5. Keadilan rakyat
Terakhir pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan dalam pidatonya usul dasar negara. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pulalah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.

Rumusan Pancasila:
  1. Kebangsaan Indonesia (nasionalisme)
  2. Internasionalisme (peri-kemanusiaan)
  3. Mufakat(demokrasi)
  4. Kesejahteraan sosial
  5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila
  1. Sosio-nasionalisme
  2. Sosio-demokratis
  3. ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila
  1. Gotong-Royong

Usulan yang disampaikan dalam pidato Soekarno yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu kemudian diterima secara aklamasi oleh segenap anggota BPUPKI.

Selanjutnya BPUPKI membentuk panitia kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar yang berpedoman pada pidato Bung Karno tersebut.

Pada saat itulah, dibentuklah Panitia Sembilan, terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin.

Panitia Sembilan ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasarkan pidato yang diucapkan Soekarno pada 1 Juni 1945. Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan ini berhasil merumuskan dasar negara ini yang kemudian diberi nama "Piagam Jakarta"

Kontroversi Catatan Sejarah

Rumusan Muh. Yamin ini dianggap kontroversial karena menurut kesaksian lima pendiri bangsa Dr. M. Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. AA Maramis, Prof. Mr. AG Pringgodigdo, dan Prof. Mr. Sunario yang diberi tugas Presiden Suharto di tahun 1975 untuk merumuskan pengertian Pancasila menyatakan menolak kebenaran pidato Yamin pada 29 Mei dan sekaligus menyatakan bahwa Sukarno adalah satu-satunya orang yang mengemukakan usulan lima dasar tersebut.

Pada pertengahan 1950-an, Muhammad Yamin meminjam satu-satunya salinan risalah rapat BPUPKI di tanah air (salinan lain yang disimpan A.G. Pringgodigdo ada di negeri Belanda) yang disimpan A.K. Pringgodigdo untuk kepentingan riset tentang perumusan UUD 1945. Dari dokumen ini Yamin menulis 3 jilid buku Naskah Persiapan UUD 1945, Buku Yamin ini menjadi sangat strategis karena Yamin tidak mengembalikan salinan notulensi yang ia pinjam dari A.K. Pringgodigdo. Sampai pertengahan 1990-an, buku Yamin menjadi satu-satunya acuan. Dari sinilah muncul polemik Hari Lahir Pancasila. Nugroho Notosusanto, sejarawan pendiri Pusat Sejarah ABRI, menerbitkan buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik di tahun 1978. Dari tiga jilid buku Yamin itulah Nugroho menyusun argumentasinya. Ia membantah Sukarno sebagai penemu Pancasila. Argumentasi inilah yang dibantah para pendiri bangsa, dengan Muhammadh Hatta sebagai pembantah terkerasnya.[9]

Pada tahun 2004, sejarawan AB Kusuma menuliskan buku setebal 671 halaman berjudul "Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945" yang di antaranya berusaha meluruskan kembali kontroversi ini.

Berikut ini video tentang sejarah lahirnya Pancasila yang diperoleh dari Kanal Youtube Kompas TV (kompas.tv).





Referensi:
Wikipedia
Intisari Online
Kompas.com
Youtube

Minggu, 24 Maret 2019

MRT Jakarta

Pada hari ini, 24 Maret 2019 adalah hari bersejarah untuk Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Kota Jakarta. Karena hari ini secara resmi Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan moda transportasi baru yaitu MRT (Mass Rapid Transit atau dalam Bahasa Indonesia adalah kepanjangan dari Moda Raya Terpadu) di Stasiun Bundaran HI.

Kereta MRT yang diberi nama "RATANGGA" ini beroperasi untuk phase pertama yaitu rute Bundaran HI - Lebak Bulus. Selanjutnya dalam peresmian ini juga dicanangkan pembangunan phase kedua untuk rute Bundaran HI - Kampung Bandan.

Sejarah Pembangunan MRT

Pada awalnya gagasan untuk membangun MRT ini dicetuskan oleh Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie, sekitar tahun 1985 ketika masih menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Kemudian ketika menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, BJ Habibie tetap membawa idenya itu untuk diaplikasikan, Habibie pun sudah menyiapkan usulan pembangunan dari kawasan Blok M ke Kota sepanjang 14 kilometer.

Sistem ini akan dibangun di bawah tanah, tepatnya di bawah jalur jalan-jalan protokol yang sekarang ini ada, termasuk di bawah jalan Sudirman/Thamrin, terus ke jalan Medan Merdeka Timur dan jalan Gajah Mada/Hayam Wuruk.

Krisis ekonomi yang diikuti krisis kepemimpinan pada 1998 membuat ide pembangunan MRT itu tertunda, namun tak terhenti.

Selanjutnya Gubernur DKI Jakarta periode 1997-2007 Sutiyoso juga pernah menyinggung untuk menggarap proyek ini. Sutiyoso kala itu punya konsep pembangunan MRT dilakukan dengan jalur bawah tanah, dan proyek ini disebut subway. Pada 2001 pembangunan subway akan dimulai dari Jalan Fatmawati hingga Jakarta Kota dengan biaya yang dibutuhkan sebanyak 1,75 milyar dollar AS dan mempekerjakan 60.000 tenaga kerja. Akan tetapi, ide itu belum juga terlaksana. Salah satu kendalanya adalah pendanaan.

Selanjutnya dalam kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012, Fauzi Bowo (Foke) kembali dicanangkan. Pada 23 September 2010, Foke datang ke kediaman BJ Habibie, kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan untuk membahas mengenai pengadaan MRT yang pernah dikajinya. Pertemuan itu menghasilkan sejumlah kemajuan. Kemudian, proyek MRT pun semakin terlihat nyata.

Salah satu kendala yang mendapatkan jawaban adalah pendanaan. Dikabarkan, pengerjaan MRT Tahap I tersebut membutuhkan dana sekitar Rp 17 triliun. Total biaya ini ditanggung pemerintah melalui pinjaman luar negeri Jepang, Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan melakukan kerja sama goverment to goverment berbentuk Special Term for Economic Partnership (STEP loan) berbunga rendah di bawah 1 persen.

Pada 26 April 2012, Foke meresmikan pencanangan persiapan pembangunan MRT Tahap I koridor Selatan-Utara sepanjang 15,7 kilometer dari Lebak Bulus-Bundaran HI. Proses pengerjaan awal mulai melakukan pemindahan Terminal Angkutan Umum Lebak Bulus, pemindahan Stadion Olahraga Lebak Bulus, pelebaran Jalan Fatmawati, dan pembangunan kantor proyek. Namun kelanjutan pembangunan proyek MRT yang dicetuskan di awal ini belum berjalan, apalagi saat Fauzi Bowo alias Foke tak lagi menjabat. Padahal proses awal pemindahan terminal dan stadion sudah dilakukan.

Dengan banyak pertimbangan hingga proses politik, Proyek MRT pun dilanjutkan dan dieksekusi oleh kepemimpinan Gubernur-Wakil Gubernur Ir. H. Joko Widodo - Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dengan rute sama, seperti yang telah dicetuskan sebelumya, yaitu Lebak Bulus-Bundaran HI. Di era Jokowi-Ahok, proyek ini secara resmi berlanjut pada 10 Oktober 2013 dengan groundbreaking atau peletakan batu pertama di lokasi yang sekarang menjadi Stasiun (MRT) Dukuh Atas.

Proyek MRT Jakarta

Proyek MRT Jakarta dimulai dengan pembangunan jalur MRT Fase I sepanjang ± 16 kilometer dari Terminal Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia yang memiliki 13 stasiun berikut 1 Depo. Untuk meminimalisir dampak pembangunan fisik Fase I, selain menggandeng konsultan manajemen lalu lintas, PT MRT Jakarta juga memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Pengoperasian Fase I akan dimulai pada tahun 2019.

Pembangunan jalur MRT Fase I akan menjadi awal sejarah pengembangan jaringan terpadu dari sistem MRT yang merupakan bagian dari sistem transportasi massal DKI Jakarta pada masa yang akan datang. Pengembangan selanjutnya meneruskan jalur Sudirman menuju Ancol (disebut jalur Utara-Selatan) serta pengembangan jalur Timur-Barat.

Peta Jalur MRT

Senin, 02 Juli 2018

Kisah Indonesia Masuk Babak Final Piala Dunia

Mungkin sebagian di antara kita tidak akan percaya bahwa ternyata kesebelasan sepak bola Indonesia pernah masuk ke Babak Final Piala Dunia. Ternyata memang benar bahwa kesebelasan sepak bola Indonesia pernah berlaga di babak final Piala Dunia, tepatnya pada saat Piala Dunia tahun 1938. Kala itu, Indonesia masih bernama Hindia Belanda (Dutch East Indies). Berikut ini adalah sekelumit cerita tentang keikutsertaan tim Indonesia (Hinda Belanda) ketika mengikuti pertandingan Piala Dunia tahun 1938 yang dikutip dari x.detik.com.

Suara peluit menjerit melengking mengingatkan para calon penumpang di Stasiun Den Haag bahwa kereta api siap diberangkatkan. Jarum jam hampir menunjukkan pukul 11.00. Dengan suara hiruk pikuk, serombongan penumpang bergegas naik ke kereta. Wajah mereka ceria dan penuh tawa.
Di antara para penumpang kereta di Stasiun Den Haag, Belanda, pada siang hari itu, Rabu 1 Juni 1938, penampilan mereka sungguh menarik banyak perhatian. Ada beberapa orang tak seberapa tinggi badannya dan berkulit cokelat gelap, sebagian lagi berkulit lebih terang dan bermata agak sipit, tapi ada pula yang berkulit putih dengan postur lebih tinggi.

Rombongan penumpang dengan tujuan Prancis itu memang datang dari negeri yang sangat jauh, Nederlands-Oost-Indië atau Hindia Belanda, atau kini, Indonesia. Mereka, 17 pemain sepak bola tim nasional Hindia Belanda, akan berlaga melawan tim Hungaria di Stadion Velodrome Municipal, kota Reims, sekitar 140 kilometer arah timur laut kota Paris, Prancis, empat hari kemudian.

Bagi Achmad Nawir, sang kapten, Sutan Anwar, Isaak Pattiwael, M.J. Hans Taihuttu, Tan Mo Heng, dan kawan-kawan, ini lah perjalanan pertama mereka ke Eropa, juga laga pertama sekaligus terakhir bagi Hindia Belanda dan Indonesia di Piala Dunia. Di depan The Magyars, julukan bagi tim Hungaria, Nawir dan teman-teman diramal bakal kalah telak. Dengan tulang punggung para pemain klub Ferencvaros, Hungaria memang menang segalanya.

Tapi menurut F. Van Bommel, Direktur Teknik Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU), Persatuan Sepak bola Hindia Belanda, Nawir dan kawan-kawan tak sudi menyerah kalah sebelum bertanding. “Kami tak akan memberikan pertandingan itu sebagai hadiah bagi tim Hungaria,” kata Van Bommel, dikutip koran Belanda, Alkmaarsche Courant, edisi 2 Juni 1938.

Setelah Mesir menjadi wakil pertama dari Benua Afrika di Piala Dunia 1934 di Italia, Federasi Internasional Asosiasi Sepak bola (FIFA) berharap ada wakil dari benua terbesar, Asia, pada Piala Dunia 1938 yang diselenggarakan di Prancis. FIFA mengundang Jepang dan Hindia Belanda untuk mengikuti babak kualifikasi. Hindia Belanda, yang diwakili oleh NIVB (Nederlandsch-Indische Voetbal Bond) resmi menjadi anggota FIFA pada 24 Mei 1924, lima tahun setelah berdiri.

Ketika itu di Hinda Belanda terdapat 3 organisasi sepakbola di Hindia Belanda, yaitu: Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) milik bangsa Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) milik bangsa Tionghoa dan Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI) milik pribumi. Setelah konflik berkepanjangan di tubuh organisasi, NIVB digantikan oleh NIVU (Nederlandsch-Indische Voetbal Unie) pada pertengahan 1935. NIVU lah yang menggantikan posisi NIVB dalam menentukan pemain dari tim yang akan dibentuk untuk dikirim ke Babak Final Piala Dunia 1938. Kala itu PSSI (Persatuan Sepak raga Seluruh Indonesia) yang berdiri pada 1930 ataupun HNVB tidak ditunjuk untuk membentuk tim ini sehingga terjadilah konflik antara NIVU dengan PSSI. Akhirnya konflik reda sementara setelah kesepakatan antara Johannes C. J. Mastenbroek dengan Soeratin Sosrosoegondo yang mewakili PSSI dalam perjanjian Gentlemen's Agreement di Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 1937.

Untuk menyaring tim Piala Dunia, NIVU menggelar seleksi di sejumlah kota. Terbatasnya waktu seleksi serta persoalan biaya membuat NIVU hanya mengadakan seleksi di Pulau Jawa. PSSI sempat protes lantaran tak dilibatkan dalam seleksi, tapi Mastenbroek, sang pelatih tim Hindia Belanda, bersama teman-temannya, jalan terus. “Harapan orang-orang sangat tinggi,” Java Bode menulis soal seleksi di kota Surabaya pada pertengahan Februari, empat bulan sebelum Piala Dunia 1938. Tapi orang-orang kecewa melihat buruknya stamina para pemain.

Sepekan setelah seleksi di Surabaya, Komisi Teknik NIVU yang beranggotakan Mastenbroek, R.E. Weiss, J. Koenekoop, dan A.P. van Lingen, menetapkan tim yang akan mewakili Hindia Belanda ke Piala Dunia di Prancis. Salah satu koran terbesar di Hindia Belanda kala itu, Bataviaasch Nieuwsblad, menulis Komisi Teknik hanya memilih sebelas pemain inti dan lima pemain cadangan. Belakangan, komposisi tim itu mengalami sedikit perubahan. Jumlahnya juga berubah menjadi 17 pemain dengan enam pemain cadangan.

Di bawah mistar, ada Tan Mo Heng, dari klub HCTNH Surabaya, di depannya, dua penghalang, Frans Hu Kom dari klub tentara, Sparta Bandung, dan Jack Kolle dari Excelsior Soerabaja. Achmad Nawir, calon dokter dari HBS Soerabaja, siap menusuk pertahanan lawan dari sayap kiri, bersama-sama Sutan Anwar, di sisi seberang. Di barisan depan, diisi Isaak Pattiwael, Hans Taihuttu, Suvarte Soedarmadji, Tan Hong Djien, dan Henk Sommers.

* * *

Bagaimana ceritanya tim nasional sepak bola Hindia Belanda bisa menjadi tim negara Asia pertama yang bermain di putaran final Piala Dunia? Bisa dibilang, Hindia Belanda tak perlu berkeringat hingga menjadi satu di antara 15 tim yang berlaga di Piala Dunia 1938.

Semula FIFA menjadwalkan Hindia Belanda menjalani pertandingan kualifikasi melawan Jepang untuk memperebutkan satu tiket Piala Dunia dari Asia. Tapi Jepang memilih mundur lantaran keberatan Piala Dunia digelar di negara Eropa. Bukannya langsung melenggang ke Prancis, setelah Jepang mundur, FIFA menggelar rapat. Hasilnya membuat petinggi NIVU berang.

Menurut FIFA, timnas Hindia Belanda mesti menjalani pertandingan kualifikasi melawan Amerika Serikat. Rencananya, pertandingan kualifikasi ini akan digelar di Rotterdam, Belanda, pada 26 Mei 1938. J.D. Hoen, bos NIVU, menilai keputusan FIFA tak adil bagi Hindia Belanda. “Hindia Belanda mestinya langsung lolos ke Prancis setelah Jepang mundur,” kata Hoen, dikutip De Telegraaf edisi 17 November 1937. Untung sekali lagi bagi Hindia Belanda, tim nasional Amerika menolak bertanding melawan mereka di Eropa. Walhasil, Hindia Belanda lolos ke Piala Dunia 1938 tanpa melewati satu pertandingan pun.

Sebelum keberangkatan, tim berkeliling pulau Jawa, mulai dari Solo, Malang, hingga Batavia, untuk menjajal tim-tim terkuat sekaligus sebagai ajang mengasah kemampuan. Saat berada di Surabaya sebelum menghadapi Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB) pada 18 April 1938,  diperkenalkan juga maskot tim berupa boneka Billiken berwarna oranye. Achmad Nawir yang ditunjuk sebagai kapten tim, seperti dikutip koran Surabaya berbahasa Belanda De Indische Courant terbitan 19 April 1938, berharap maskot tersebut membawa keberuntungan di Prancis nanti.  

Setelah pertandingan ujicoba terakhir melawan klub VBO di Batavia, dengan menumpang kapal MS Baloeran milik perusahaan Belanda, Rotterdamsche Lloyd, Nawir dan teman-temannya berangkat dari pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta, pada 27 April 1938. Mereka sempat mampir di pelabuhan Belawan, Medan, dan menjalani pertandingan uji coba melawan klub klub OSVB.

Kepada koran Belanda, Utrechts Volksblad, Van Bommel bercerita bagaimana mereka melewatkan beberapa pekan di atas kapal Baloeran. Berhari-hari bersama di kapal, menurut Van Bommel, makin merekatkan hubungan 17 pemain yang berasal dari pelbagai daerah, juga dari bermacam-macam keturunan. Dari 17 pemain, delapan di antaranya merupakan keturunan Belanda, tiga orang keturunan Tionghoa, tiga pemain keturunan Maluku, dua dari Sumatra, dan seorang Jawa. “Mereka jadi teman selama perjalanan dan solidaritas di antara mereka makin kuat,” kata Van Bommel.

Perjalanan laut itu berakhir di Pelabuhan Marseille, Prancis. Rupanya, tim ini tak langsung ke kota Reims, lokasi pertandingan pertama melawan Hungaria. Rombongan dari Hindia Belanda itu justru menuju kota Den Haag, Belanda, dengan menggunakan kereta api Parijschen pada 18 Mei 1938. Di Stasiun Den Haag, Karl Lotsy, Direktur Koninklijke Nederlandse Voetbal Bond (KNVB), organisasi sepak bola Belanda, bersama sejumlah pejabat lain, juga puluhan orang yang tertarik dengan kedatangan tim Hindia Belanda, sudah siap menyambut.

KNVB telah menyiapkan Hotel Duinoord di Wassenaar, daerah pinggiran Den Haag, sebagai tempat tinggal rombongan selama di Belanda. Selain ditempa oleh Bob Glendenning, pelatih KNVB, tim nasional Hindia Belanda juga sempat dua kali bertanding melawan klub Belanda, HBS Den Haag dan VV Haarlem. Hasilnya lumayan juga. Sekali seri, 2-2, dan sekali menang, 5-3.

Hingga sampai lah saat itu tanggal 5 Juni 1938 yang menjadi hari diselenggarakannya pertandingan antara kesebelasan Hindia Belanda dengan kesebelasan Hongaria di Stadion Velodrome (sekarang bernama Auguste Delaune), Reims, Perancis. Sejak pukul tiga siang, orang-orang sudah memadati Place Drouet d’Erlon di jantung kota Reims. Di kafe-kafe, seperti ditulis Algemeen Handelsblad, orang-orang berisik membicarakan tim Hindia Belanda, negara jajahan di belahan bumi lain yang menjadi tim pertama dari benua Asia yang bermain di Putaran Final Piala Dunia. Dua jam kemudian, tepat pukul 17.00 waktu setempat, wasit Roger Conrie meniup peluit tanda dimulainya pertandingan antara Hindia Belanda melawan The Magyars, Hungaria.

Bagi Hungaria, ini lah kedua kalinya mereka berlaga di putaran final Piala Dunia. Beberapa pemain kunci seperti Gyorgy Sarosi, Vilmos Kohut, dan Geza Toldi merupakan ‘veteran’ Piala Dunia 1934 di Italia. Tabloid mingguan dari Prancis, Le Miroir Des Sports, edisi 8 Juni 1938 menggambarkan pertandingan antara dua tim tersebut laksana David melawan Goliat. Dalam hal postur tubuh tim Hindia Belanda kalah segala-galanya. Baik tinggi maupun berat badan

Kalah dari segi fisik tak berarti tim Hindia Belanda yang dilatih Johannes Christoffel Jan Mastenbroek kalah teknik. "Dalam keahlian individu, pemain-pemain Hindia Belanda tampil luar biasa. Mereka punya kemampuan menggiring bola yang baik bahkan berani bertarung di udara," tulis Le Miroir. Dengan gagah berani, Nawir, Sutan Anwar, Isaak Pattiwael, Tan Hong Djien, memberikan perlawanan.

Tapi mereka memang kalah kelas. Gol Kohut pada menit ke-13, disusul gol Toldi dua menit kemudian, dan gol Sarosi tak berselang lama, menamatkan perlawanan mereka. Wartawan Leidsche Courant menulis, usai gawang Tan Mo Heng dijebol Sarosi, semangat bertarung tim Hindia Belanda tampak melorot. Hungaria mengontrol penuh permainan.

Sebenarnya penyerang Hindia Belanda sempat membuat gol balasan melalui Isaak. Cerita itu dituturkan John Izaac Minotty Pattiwael, cucu Isaak. "Tapi gol opa saya dianulir," kaya John kepada detikX. Saat wasit Conrie kembali meniup peluit panjang tanda 90 menit pertandingan usai, Hungaria unggul 6-0 dari Hindia Belanda.

‘Eervolle 6-0 Nederlaag van Indie’, Kekalahan Terhormat untuk Hindia Belanda, harian asal Medan berbahasa Belanda, De Sumatra Post, edisi Selasa 7 Juni 1938, memberikan judul untuk tulisan panjangnya mengenai pertandingan tim Hindia Belanda melawan The Magyars.

Kamis, 01 Juni 2017

Sejarah Rancangan Lambang Garuda Pancasila

Sejarah pembuatan lambang negara Republik Indonesia sudah dimulai sebelum Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Tepatnya pada tanggal 13 Juli 1945 dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Parada Harahap, mengusulkan tentang lambang negara. Usulan tersebut disetujui oleh semua anggota, dan sepakat akan dibahas tersendiri kemudian dalam bentuk Undang-Undang Istimewa yang mengatur tentang lambang negara.

Proses pembuatan lambang negara Indonesia dimulai setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 16 November 1945 dibentuklah Panitia Indonesia Raya, yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dan Muhammad Yamin menjadi sekretaris umum.

Panitia ini bertugas untuk menyelidiki arti lambang-lambang dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia sebagai langkah awal untuk mempersiapkan bahan kajian tentang lambang negara Indonesia. Kajian ini dilakukan terhadap data lambang­-lambang burung garuda yang berada di candi-candi di pulau Jawa

Pada tahun 1947 diadakan sayembara merancang lambang negara yang diadakan oleh Kementerian Penerangan melalui organisasi seni Lukis seperti SIM (Seniman Indonesia Muda) dan Pelukis Rakyat. Berdasarkan sumber yang dikutip dari catalog pameran Haris Purnomo, 2006, yang bertajuk “Di bawah Sayap Garuda” terdapat ulasan Hendro Wiyanto selaku kurator yang mengulas perihal sayembara tersebut dengan judul "Tanda Lambang Garuda” yang menyebutkan bahwa tidak ada satupun dari hasil rancangan sejumlah pelukis tentang bentuk lambang negara yang sesuai karena kebanyakan pelukis tersebut kurang paham mengenai sejarah dan arti dari tanda lambang negara.

Tanggal 30 Desember 1949 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No 2 Tahun 1949, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio RIS. Dalam kedudukan tersebut, Sultan Hamid II dipercayakan oleh Presiden Soekarno untuk melakukan perancangan gambar lambang negara, karena tidak ada tugas lain selaku Menteri Negara selain membuat rencana untuk Lambang Negara RIS dan menyiapkan Gedung Parlemen RIS. Kemudian pada idang kabinet kedua tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lambang Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan Panitia Teknis: Muhammad Yamin (Ketua), Ki Hajar Dewantoro (anggota), M.A. Pellaupessy (anggota), Moh. Natsir (anggota), R.M. Ng Purbatjaraka (anggota). Panitia ini bertugas menyeleksi/menilai usulan-usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Untuk melaksanakan tugas perancangan lambang negara Sultan Hamid II selaku Menteri Negara RIS meminta masukan dari Ki Hajar Dewantoro selaku anggota Panitia Lambang Negara RIS yang berada di Yogyakarta, kemudian masukan tersebut pada tanggal 26 Januari 1950 dikirim kepada Sultan Hamid II melalui sekretaris dewan Menteri RIS (Z Yahya) yang isinya mengirimkan nasehat dan usulan kepada Panitia Lambang Negara di Jakarta dan surat turunannya telah disampaikan kepada Menteri Negara RIS Sultan Hamid II tanggal 1 Februari 1950 No. XXX/ 202, Perihal Panitia Lambang Negara.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.

Sejarah rancangan Lambang Negara
 Rancangan awal Lambang Negara (model 1)
 Rancangan awal Lambang Negara (model 2)
 Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II masih menampilkan bentuk tradisional Garuda yang bertubuh manusia
 Garuda Pancasila yang diresmikan penggunaannya pada 11 Februari 1950, masih tanpa jambul dan posisi cakar di belakang pita
Lambang Negara Republik Indonesia yang resmi saat ini

Selanjutnya sejarah tentang lahirnya Pancasila dapat dibaca di artikel berikut ini.

Jumat, 22 Agustus 2014

Presiden Republik Indonesia

1. Presiden RI yang Pertama
Dr.(HC) Ir. Soekarno
Dipilih dan dilantik sebagai Presiden RI pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebagai Wakil Presidennya adalah Drs. Mohammad Hatta. Drs. Mohammad Hatta menjabat sebagai Wakil Presiden hingga tanggal 1 Desember 1956 karena berselisih paham dengan Ir. Soekarno.
Sejak 1 Desember 1956 Ir. Soekarno menjabat sebagai Presiden RI hingga tanggal 22 Februari 1967 tanpa didampingi oleh seorang Wakil Presiden.

Ir. Soekarno berasal dari Partai Nasional Indonesia (PNI).

2. Presiden RI yang Kedua
Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto

Setelah memimpin dalam penumpasan Gerakan 30 September PKI (G 30 S PKI), Soeharto mengambil alih kekuasaan Ir. Soekarno, ditunjuk oleh MPRS sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 dan memimpin negara RI mulai tanggal 22 Februari 1967. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.

Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968.

Selama masa jabatannya sebagai Presiden, Soeharto telah didampingi oleh 6 orang Wakil Presiden, yaitu:
a. Sri Sultan Hamengkubuwono IX (periode 24 Maret 1973 s.d.  23 Maret 1978)
b. H. Adam Malik Batubara (periode 23 Maret 1978 s.d. 11 Maret 1983)
c. Umar Wirahadikusumah (periode 11 Maret 1983 s.d. 11 Maret 1988)
d. H. Soedharmono, S.H. (periode 11 Maret 1988 s.d. 11 Maret 1993)
e. Try Sutrisno (periode 11 Maret 1993 s.d. 10 Maret 1998)
f. Bacharuddin Jusuf Habibie (periode 10 Maret 1998 s.d. 21 Mei 1998)

Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Presiden setelah aksi Demonstrasi yang diprakarsai oleh Mahasiswa yang menuntut pengunduran dirinya.

Soeharto berasal dari Partai Golkar.

3. Presiden RI yang Ketiga
Prof. DR. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie

Menjadi Presiden RI yang ketiga setelah Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "bila Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya".

Dalam periode kepemimpinan B.J. Habibie sebagai Presiden yang tidak didampingi oleh seorang Wakil Presiden tersebut terdapat beberapa kebijakan dan hal yang kontroversial yang terjadi, seperti kebijakan mengadakan referendum bagi Kemerdekaan Provinsi Timor Timur, yang akhirnya menyebabkan hasil referendum adalah rakyat di Timor Timur memilih untuk merdeka sehingga saat ini menjadi negara Timor Leste. Selain itu, hal kontroversial yang terjadi adalah laporan pertanggungjawaban B.J. Habibie di depan Sidang Umum MPR tahun 1999 ditolak oleh MPR.

Walau demikian, pemerintahan B.J. Habibie ini berhasil memberikan landasan kokoh bagi Indonesia, yaitu dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik dan yang paling penting adalah UU Otonomi Daerah.

Selama menjabat sebagai Presiden RI, tidak ada Wakil Presiden yang membantu B.J. Habibie.

B.J. Habibie yang berasal dari Partai Golkar ini menjabat sebagai Presiden hingga tanggal 20 Oktober 1999.

4. Presiden RI yang Keempat
K.H. Abdurrahman Wahid

K.H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil "Gus Dur" diangkat menjadi Presiden RI yang keempat pada tanggal 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu anggota DPR dan DPD tahun 1999.

Wakil Presiden yang membantu Gus Dur dalam menjalankan Pemerintahan adalah Megawati Soekarnoputri.

Masa kepemimpinan Gus Dur berakhir pada tanggal 23 Juli 2001 setelah mandatnya dicabut oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR.

Gus Dur adalah pendiri Partai Kebangkitan Bangsa.



5. Presiden RI yang Kelima
Megawati Soekarnoputri

Setelah mandat sebagai Presiden RI yang diberikan kepada Gus Dur dicabut dalam Sidang Istimewa MPR, maka praktis Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden, diangkat menjadi Presiden RI yang kelima pada tanggal 23 Juli 2001.

Wakil Presiden yang dipilih untuk mendampinginya dalam menjalankan Pemerintahan adalah Hamzah Haz. Megawati bersama Hamzah Haz menjalankan pemerintahan sebagai Presiden dan Wakil Presiden hingga tanggal 20 Oktober 2004.

Megawati yang merupakan putri dari Presiden Pertama RI, Soekarno adalah berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

6. Presiden RI yang Keenam
Jend. TNI (Purn.) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono atau yang lebih dikenal dengan panggilan "SBY" adalah merupakan presiden RI pertama yang dipilih secara langsung oleh Rakyat. Bersama H. Muhammad Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, terpilih untuk menjabat sejak 20 Oktober 2004.

Kemudian pada Pemilihan Presiden yang kedua kalinya, SBY kembali terpilih untuk menjabat sebagai Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2009. Wakil Presiden yang terpilih untuk mendampingi SBY dalam jabatannya yang kedua kali sebagai Presiden RI adalah Prof. Dr. H. Boediono, M.Ec. Jabatan periode yang kedua sebagai presiden ini berakhir pada tanggal 20 Oktober 2014.

SBY adalah berasal dari Partai Demokrat.

7. Presiden RI yang Ketujuh
Ir. H. Joko Widodo

Joko Widodo yang lebih dikenal dengan sapaan "Jokowi" terpilih sebagai Presiden RI yang ketujuh bersama wakilnya H. Muhammad Jusuf Kalla pada Pemilihan Presiden tanggal 9 Juli 2014. Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober 2014. Jokowi dan Jusuf Kalla diusung oleh partai PDIP, Partai Nasdem, PKB dan Partai Hanura.

Proses pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla ini mencetak sejarah karena setelah dilantik oleh MPR, Jokowi dan Jusuf Kalla disambut secara meriah oleh masyarakat yang berdiri sepanjang jalan Jend. Sudirman dari Semanggi ke Bundaran HI (Jl. M.H. Thamrin) hingga ke Istana Negara.

Pada periode berikutnya yatu 2019 s.d. 2024, Jokowi kembali terpilih sebagai Presiden RI yang didampingi wakilnya K.H. Ma'ruf Amin, dan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2019. Dalam Pemilu kali ini, Jokowi dan K.H. Ma'ruf Amin diusung oleh PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Perindo, PSI, Hanura, PKPI dan PBB.


Di samping ketujuh Presiden tersebut, sebenarnya masih ada yang menjabat Presiden RI sementara. Mereka adalah.

1. Sjafruddin Prawiranegara

Menjabat sebagai Presiden RI/Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 19 Desember 1948 s.d. 13 Juli 1949 menggantikan sementara Soekarno, ketika Pemerintah RI di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer II.

2. Asaat

Ia merupakan pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia sementara pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 27 Desember 1949 s.d. 15 Agustus 1950.




Minggu, 17 Agustus 2014

Sejarah Patung Dirgantara (Patung Pancoran)

Patung Dirgantara atau yang lebih dikenal sebagai Patung Pancoran (karena terletak di daerah Pancoran, Jakarta Selatan atau tepatnya di perempatan Jl. Pasar Raya Pasar Minggu - Jl. M.T. Haryono). Patung ini dirancang oleh Edhi Sunarso, pemahat patung kepercayaan Ir. Soekarno dari Sanggar Keluarga Arca Yogyakarta, yang dirancang pada tahun 1964-1965 menjelang peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru. Pengecoran perunggu patung ini dilakukan oleh Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta, dipimpin oleh I Gardono. Sedangkan arsiteknya adalah Ir Sutami.

Pada saat Soekarno sudah masuk ke masa 'perasingan', maka dana untuk membangun patung ini pun kurang. Edhi Gunarso kemudian menemui Soekarno untuk membicarakan hal ini. Soekarno kemudian menjual mobil milik dia agar patung itu bisa selesai. Namun kabarnya dana ini juga masih tidak mencukupi sehingga Edhi Gunarso mengeluarkan uang pribadinya untuk membuat patung ini.

Berdasarkan literatur patung itu selesai pada 1967, sedang menurut keterangan Edhi Gunarso, patung ini selesai dibuat pada tahun 1970.

Patung dibangun dari perunggu dengan tinggi 11 meter dan berat 11 ton yang diletakkan pada dudukan cor beton bertulang setingi 27 meter, dengan panjang 36 meter.

Patung Dirgantara tersebut memiliki makna filosofis, yaitu melambangkan keberanian, ksatria dan kedirgantaraan dengan kejujuran, keberanian dan semangat mengabdi.

Jumat, 27 Desember 2013

Kisah Wing Garuda dalam Operasi Trikora

Ketika pemerintah RI mencanangkan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora)untuk membebaskan Irian Barat dari kolonialisme Belanda (1962), para awak dari maskapai penerbangan Garuda juga dilibatkan. Komando Tertinggi Trikora membentuk Wing Garuda (WG) dan Wing Garuda 011 (WG 011) yang merupakan kekuatan bala cadangan udara untuk mendukung kekuatan AURI.

Tugas utama yang dibebankan kepada WG dan WG 011 adalah melaksanakan penerbangan penyusupan, penerjunan sukarelawan dan pasukan tempur, angkutan logistik, komando kendali udara, pelacak cuaca, angkut personel, serta SAR.

Untuk melaksanakan sejumlah misi yang cukup riskan itu, WG dan WG 011 menggunakan pesawat-pesawat transpor seperti DC-3 Dakota, C-47 Skytrain, dan ConvairB-36. Dalam setiap penerbangannya para pilot WG dan WG 011 akan menghadapi risiko dihadang oleh pesawat-pesawat tempur Belanda yang saai itu tergolong canggih, yakni MK-06 Hawker Hunter, AS-4 Firefly, P2V-7 Neptune, dan B-26 Invader.

Selain sergapan pesawat tempur penerbangan rahasia WG dan WG 011 juga kerap menghadapi cuaca buruk serta radar musuh sehingga harus terbang pada ketinggian rendah (tree top) di atas kawasan hutan lebat atau perairan yang ganas siang maupun malam hari. Setelah Irian Barat diserahkan ke pangkuan RI melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962, tugas yang harus dilaksanakan WG dan WG 011 untuk membereskan Irian Barat tetap berlangsung.

Salah satu misi yang berpotensi menimbulkan konflik bersenjata adalah ketika personel WG dan WG 001 ditugaskan Panglima Tertinggi (Presiden) untuk mengambil alih perusahaan penerbangan Belanda, De Kroonduif NV yang berada di Irian Barat. Tim dari WG kemudian membentuk satu kontingen yang kurang lebih terdiri dari 40 orang yang memiliki kemampuan mengelola perusahaan penerbangan, penerbang, dan teknisi. Sebagai pimpinan kontingen ditunjuk pilot senior Captain M Syafei, yang diberi wewenang penuh untuk mengelola perusahaan penerbangan yang diambil alih beserta fasilitas pendukungnya seperti hanggar, gudang suku cadang, fasilitas pemeliharaan, hotel, dan lainnya.

Kontingen yang juga dibekali kemampuan bertempur itu dilantik oleh Presiden Sukarno pada 13 Desember 1962 melalui upacara sederhana dan singkat. Perasaan bahwa misi ke Irian Barat itu merupakan misi tempur sekali jalan (one-way ticket) sangat terasa ketika Bung Karno memberi perintah yang intinya berbunyi, "Kibarkanlah bendera-bendera ini (Merah Putih, bendera pasukan PBB, dan bendera Garuda) pada saat ayam berkokok tanggal 1 Januari 1963".

Para pilot kontingen yang berjumlah 14 orang tidak hanya berdebar-debar karena adanya perintah bertempur itu, tapi juga was-was lantaran harus terbang di atas wilayah Irian Barat yang belum dikenal dan di bawahnya terhampar hutan belantara yang belum banyak disentuh manusia.

Mereka yang terlibat dalam misi tempur untuk membebaskan Irian Barat dalam Operasi Trikora memiliki risiko sama seperti para pilot pesawat militer lainnya. Dalam kondisi genting mereka bahkan harus siap baku tembak saat berada di darat.

Untuk menghadapi kemungkinan terburuk setiap personel kontingen dibekali pistol. Agar tidak mencolok pistol ditaruh dalam koper dan ditempatkan secara tersembunyi. Untuk penggunaan persenjataan dan kemampuan tempur para personel Wing Garuda telah mendapat latihan militer dari TNI AU dan diselengarakan selama dua minggu di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Kontingen WG diberangkatkan ke Biak dari Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta pada 18 Desember 1962 pukul 03.00 dini hari menggunakan pesawat Lockheed L-188 Electra. Penerbangan berjalan lancar dan tiba di Lapangan Terbang Mokmer, Biak dengan selamat. Kontingen kemudian menuju ke gedung perkantoran De Kroonduif NV dan di luar dugaan disambut hangat oleh staf pimpinan perusahaan, Albert Janssen.

Sebagai pimpinan rombongan Captain Syafei sangat salut terhadap para staf dan pekerja Belanda yang sangat kooperatif dan mematuhi keputusan undang-undang (tentang penyerahan Irian Barat yang disahkan oleh PBB) yang sedang berlaku.

Tugas Non Penerbangan

Suasana di hari pertama yang menyejukkan itu tiba-tiba berubah drastis karena salah satu anggota kontingen, Gunadi, yang sedang mengendarai mobil secara tak sengaja telah menabark seorang penduduk Irian Barat sehingga mengalami luka cukup serius. Rupanya jalan di Irian Barat yang belum dikenal dan sikap penduduk Irian Barat yang masih sembrono menjadi penyebab kecelakaan fatal itu.

Insiden kecelakaan itu jelas menjadi potensi dari penduduk lokal untuk melancarkan aksi kekerasan. Tapi Janssen yang notabene berada di pihak "musuh" ternyata bersikap kooperatif. Dengan pendekatan secara kekeluargaan insiden kecelakaan itu dapat diselesaikan tanpa menimbulkan konflik kekerasan.

Pihak De Kroonduif rupanya sangat patuh hukum dan bersedia menyerahkan sejumlah pesawat dan fasiltasnya. Pesawat dan fasilitas yang diserahkan ke kontingen antara lain dua Dakota, tiga Twin Pioneer, tiga Beaver berikut terminal laut yang berada di tepi pantai Mokmer, fasilitas pemeliharaan, gudang suku cadang, dan lainnya.

Berdasar pengalaman kontingen, manajemen dan organisasi segera disusun dengan nama perusahaan Garuda Irian Barat. Para personel Kontingen harus bekerja super cepat, hanya ada waktu satu minggu karena para personel Belanda dari Kroonduif akan segera pulang ke negaranya untuk merayakan Tahun Baru dan Natal.

Tugas yang paling membingungkan bagi kontingen adalah ketika mengurus Hotel Rift karena sama sekali tidak memiliki pengalaman. Dengan prinsip pantang mundur Kontingen akhirnya bekerja dengan cara meniru pekerjaan rutin seperti yang dilakukan oleh karyawan Belanda sebelumnya. Pekerjaan yang sangat mendebarkan adalah ketika harus melakukan pengecatan pesawat Twin Pioneer sampai jauh malam menjelang akhir tahun. Untuk melaksanakan pengecatan pesawat yang dibutuhkan kemampuan khusus dilakukan Captain Syafei dibantu satu orang yang diutus oleh Departemen Perhubungan, Agil.

Cat warna merah-putih-biru di lambung pesawat (melambangkan bendera Belanda) harus dihapus diganti warna Merah Putih dan registrasi PK. Menjelang malam Tahun Baru pun semua pekerjaan telah selesai. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan pada acara pengibaran bendera  yang dialkukan keesokan harinya, semua personel kontingen menyiagakan diri dengan senapan serbu dan pistolnya.

Keadaan menjelang malam memang makin menegang karena di sejumlah kawasan di Kota Biak terjadi tembak-menembak. Tapi aksi sporadis itu tidak meluas ke Mokmer.

Sumber: Majalah Angkasa

Senin, 15 Juli 2013

Monumen Nasional - Monas

Gagasan awal pembangunan Monumen Nasional atau yang biasa dikenal sebagai Monas muncul setelah 9 tahun kemerdekaan RI diproklamirkan. Beberapa hari setelah HUT ke-9 RI, dibentuk Panitia Tugu Nasional yang bertugas mengusahakan berdirinya Tugu Monas. Panitia ini dipimpin Sarwoko Martokusumo, S Suhud selaku penulis, Sumali Prawirosudirdjo selaku bendahara dan dibantu oleh empat orang anggota masing-masing Supeno, K K Wiloto, E F Wenas, dan Sudiro.

Panitia itu bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan Monas, mencari biaya dari swadaya masyarakat. Setelah itu, Sukarno membentuk panitia pembangunan Monas yang dinamakan 'Tim Yuri' yang diketuai langsung olehnya.

Dalam buku 'Bung Karno Sang Arsitek' karya arsitek Yuke Ardhiati disebutkan bahwa pada 17 Februari 1955, Presiden Sukarno menggelar sebuah sayembara terbuka tentang desain sebuah tugu yang akan dibangun di Jakarta. Sayembara ditutup pada Mei 1956. Ada 51 arsitek yang mengajukan rancangan, dan hanya satu yang dipilih, yakni karya Frederich Silaban, meski sebenarnya desainnya dinilai tak memenuhi syarat bangunan tugu.

Sayembara kembali dibuka pada 10-15 Mei 1960. Kali ini pesertanya mencapai 222 orang dengan 136 desain bangunan. Sayang, tak ada satu pun yang memenuhi keinginan Sukarno. Waktu itu arsitek lulusan Technische Hogeschool (kini Institut Teknologi Bandung) itu menginginkan bangunan tugu yang mencerminkan revolusi serta kepribadian dan cita-cita rakyat Indonesia.

"(Bangunan) yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada materi yang mati,” kata Sukarno waktu itu, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Sang Arsitek karya Yuke Ardhiati.

Di hadapan peserta sayembara, Sukarno mengakui sulitnya mewujudkan ide itu dalam bentuk desain bangunan. Akhirnya, rancangan yang pernah diajukan Silaban diambil alih oleh Sukarno dan Raden Mas Soedarsono untuk dimodifikasi. Hasilnya, jadilah Tugu Monumen Nasional atau Monas seperti yang sekarang ini.

Tugu Monas mulai dibangun pada 17 Agustus 1961. Di tengah jalan, proses pembangunan tidak berjalan mulus. Peristiwa G 30 S/1965 membuat pembangunan ikon Indonesia ini terhenti. Mulai tanggal 3 September 1965, pembangunan kembali berlanjut. Hingga akhirnya monumen ini diresmikan pada 12 Juli 1975. Bangunan itu memiliki ketinggian 132 meter dengan bentuk menyerupai modifikasi artefak Lingga dan Yoni. Lingga merupakan simbol kejantanan seorang pria (phallus), dan Yoni sebagai simbol perempuan atau kesuburan. Selain melambangkan Lingga dan Yoni sebenarnya bentuk tugu Monas ini juga melambangkan alu dan cawan, alat penting yang dimiliki rakyat Indonesia, khususnya di pedesaan. Bisa pula tugu dan cawan itu perlambang negatif-positif, siang-malam, baik buruk dan dua sisi yang selalu abadi di dunia.

Sukarno mendapat inspirasi tersebut dari artefak yang ada di Candi Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah. Dia menyebut Candi Sukuh merupakan salah satu monumen yang dibangun pada zaman Hindu. “Pada waktu itu, monumen-monumen itu pencerminan dari jiwa besar Indonesia,” ujar Sukarno dalam pidato saat peletakan batu pertama pembangunan Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961.

Berat Emas Monas Saat Ini Bertambah

Bobot emas di puncak Monas awalnya seberat 32 kilogram. Namun sekarang bertambah jadi 50 kilogram. Penambahan emas ini dilakukan pada saat merayakan ulang tahun emas (50 tahun) Repulik Indonesia pada tahun 1995, pemerintah saat itu menambah jumlah emas sebanyak 18 kilogram lagi sehingga berat totalnya genap genap menjadi 50 kilogram. Lidah api atau obor di Monas mempunyai ukuran yang cukup besar, mencapai 14 meter dengan diameter 6 meter serta 77 bagian yang disatukan. Puncak yang berupa 'api yang tak kunjung padam' itu menyimbolkan semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Emas tersebut melapisi perunggu seberat 14,5 ton yang berada di bagian dalam lidah api.

Lokasi Monas Dulu Menjadi Tempat Eksekusi Mati

Dalam buku karangan Adolf Heuken SJ yang berjudul 'Historical Sites of Jakarta' disebutkan Monas pada dulu kala adalah sebuah lapangan. Dalam buku itu disebutkan, Gubernur Daendels menamai lokasi Monas sebagai 'Champ de Mars' alias tempat latihan militer di era 1800-an. Pada masa itu juga Deandels sempat memerintahkan eksekusi mati pada Kolonel F.Filz yang dianggapnya menyerah terlalu mudah pada Inggris saat memperebutkan benteng di Ambon pada tahun 1810.

Setelah itu, kawasan Monas yang dulunya bernama lapangan Koningsplein terus berevolusi. Dikutip dari National Geographic, pemerintah Belanda kala itu membangun hotel dan pacuan kuda Lapangan Koningsplein. Hal itu perlu dilakukan karena Koningsplein memiliki arti King Square atau alun-alun raja.

Fasilitas lain di Koningsplein termasuk pacuan kuda dibangun 1840-an dan pada 1850-an dibangunlah hotel, taman hiburan. Tidak salah jika kemudian Koningsplein menjadi tujuan wisata para pelancong kolonial.

Pada zaman Jepang di tahun 1942, lapangan itu diubah jadi Ikada yang merupakan singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta. Di sekitar kawasan tersebut terdapat sejumlah lapangan sepak bola milik klub sepak bola era 1940-an dan 1950-an seperti Hercules, VIOS (Voetbalbond Indische Omstreken Sport) dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas kompetisi BVO (Batavia Voetbal Organisatie). Setelah kemerdekaan, kesebelasan tersebut digantikan oleh Persija. Selain lapangan sepak bola, di sekitarnya terdapat pula lapangan hoki dan lapangan pacuan kuda untuk militer kavaleri.

Ruangan dan Bagian dari Bangunan Monas

Lidah Api

Di bagian puncak terdapat cawan yang di atasnya terdapat lidah api dari perunggu yang tingginya 17 meter dan diameter 6 meter dengan berat 14,5 ton. Lidah api ini dilapisi emas seberat 45 kg. Lidah api Monas terdiri atas 77 bagian yang disatukan.

Pelataran Puncak

Pelataran puncak luasnya 11x11 m. Untuk mencapai pelataran puncak, pengunjung bisa menggunakan lift dengan lama perjalanan sekitar 3 menit. Di sekeliling lift terdapat tangga darurat. Dari pelataran puncak Monas, pengunjung bisa melihat gedung-gedung pencakar langit di kota Jakarta. Bahkan jika udara cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Salak di Jawa Barat maupun Laut Jawa dengan Kepulauan Seribu.

Pelataran Bawah

Pelataran bawah luasnya 45x45 m. Tinggi dari dasar Monas ke pelataran bawah yaitu 17 meter. Di bagian ini pengunjung dapat melihat Taman Monas yang merupakan hutan kota yang indah.

Museum Sejarah Perjuangan Nasional

Di bagian bawah Monas terdapat sebuah ruangan yang luas yaitu Museum Nasional. Tingginya yaitu 8 meter. Museum ini menampilkan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Luas dari museum ini adalah 80x80 m. Pada keempat sisi museum terdapat 12 diorama (jendela peragaan) yang menampilkan sejarah Indonesia dari jaman kerajaan-kerajaan nenek moyang Bangsa Indonesia hingga G30S PKI.

Taman

Kompleks Monumen Nasional ini selain bangunan tugu Monas, juga terdapat sebuah taman yang merupakan hutan kota yang dirancang dengan taman yang indah.

Di taman ini kita dapat bermain bersama kawanan rusa yang sengaja didatangkan dari Istana Bogor untuk meramaikan taman ini. Taman Monas juga dilengkapi dengan kolam air mancur menari. Pertunjukan air mancur menari ini sangat menarik untuk ditonton pada malam hari. Air mancur akan bergerak dengan liukan yang indah sesuai alunan lagu yang dimainkan. Selain itu ada juga pertunjukkan laser berwarna-warni pada air mancur ini.

Kawasan Taman Monas sering dijadikan sebagai arena berolahraga bagi para pengunjung. Selain itu, bagi yang ingin menjaga kesehatan, selain berolahraga di Taman Monas, kita pun dapat melakukan pijat refleksi secara gratis. Di taman ini disediakan batu-batuan yang cukup tajam untuk dipijak sambil dipijat refleksi. Di taman ini juga disediakan beberapa lapangan futsal dan basket yang bisa digunakan siapapun.

Jika lelah berjalan kaki di taman seluas 80 hektar ini, Anda dapat menggunakan kereta wisata. Taman ini bebas dikunjungi siapa saja dan terbuka secara gratis untuk umum.

Dana Pembangunan Monas

Pembangunan Monas ini menjadi cerminan semangat gotong royong warga dari beragam suku, ras, dan agama. Selama pembangunannya, biaya diperoleh dari iuran masyarakat Nusantara, selain juga anggaran pemerintah. Salah satunya, sumbangan wajib pengusaha bioskop dari seluruh pelosok Tanah Air. Sepanjang November 1961-Januari 1962 tercatat 15 bioskop menyumbang Rp 49.193.200,01. Bioskop Parepare, Sulawesi Selatan, misalnya, menyumbang Rp 7.700,60; bioskop Watampone, Sulawesi Selatan, Rp 1.364,20; dan bioskop Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rp 884.528,85. Sedangkan Emas di puncak Monas merupakan sumbangan pengusaha Aceh, Teuku Markam.

Selain itu, Kubah anggun Masjid Istiqlal berdampingan dengan menara Katedral Jakarta menjadi latar belakang bagian barat Monas. Latar itu seakan membingkai semangat persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika, tepat di ruang pusat kekuasaan.

Pada 1972, total biaya pembangunan Tugu Monas telah mencapai Rp 358.328.107,57. Secara keseluruhan total dana yang dikeluarkan untuk membangun Monas sejak 1961 hingga 1975 adalah sebesar Rp 58 miliar rupiah.

Peresmian Monas

Dalam sejumlah sumber disebutkan Monas diresmikan pada 12 Juli 1975. Namun, dari penelusuran pemberitaan dan dokumen, tak ada acara peresmian Monas. Meski belum diresmikan, kawasan Monas telah dibuka untuk umum melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin Nomor Cb.11/1/57/72 tanggal 18 Maret 1972. Saat itu, Ali Sadikin hanya membolehkan rombongan/organisasi atau murid sekolah/mahasiswa ke ruang tenang dan ruang museum. Setiap pengunjung dikenai Rp 100.

Baru tahun 1973, Gubernur Ali Sadikin memperbolehkan pengunjung naik sampai pelataran puncak Monas.

Pada 10 Juni 1974, Ali Sadikin meresmikan taman di bagian barat Monas. Taman ini dihiasi air mancur menari. Taman itu disebut Taman Ria. Monas akhirnya dibuka untuk umum setelah diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 12 Juli 1975 ketika pembangunannya berakhir.

Sejumlah tamu negara pernah mengunjungi Monas, salah satunya Ratu Elizabeth II dan suaminya, Pangeran Philip, pada tanggal 19 Maret 1974.

Waktu Operasi Monas dan Pengelola

Monas dibuka setiap hari mulai pukul 09.00 s.d. 16.00 WIB.

Monas dikelola oleh: Pemda Provinsi DKI Jakarta
Jl. Kebon Sirih No.22 Blok H Lt.IX No.53
Jakarta Pusat
Telp: (021) 382 3041

Sumber: detik.com, kompas.com dan berbagai sumber

Artikel Terkait:
Teuku Markam, Penyumbang Emas Monas

Jumat, 17 Agustus 2012

SEJARAH BENDERA PUSAKA MERAH PUTIH

Tanggal 17 Agustus 1945, bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta (sekarang Jalan Proklamasi No. 56), tampak secarik kain berwarna Merah-Putih berukuran 2 x 3 meter yang berkibar dengan bebas sebebas rakyat indonesia yang memadati jalan tersebut. Karena pada hari itulah kemerdekaan Bangsa Indonesia di umumkan, secarik kain itulah yang kini disebut sebagai Bendera Pusaka (sekarang bendera tersebut mengkerut menjadi berukuran 196 x 274 sentimeter).

Bendera yang telah dibuat setahun sebelum Proklamasi ini sudah beberapa kali dikibarkan pada tiang yang sama, dikarenakan balatentara Jepang ketika itu mulai mengizinkan bendera Merah-Putih dikibarkan berdampingan dengan bendera kebangsaan Jepang, pada hari-hari besar yang ditentukan oleh Jepang.
Bendera yang dibuat dan dijahit sendiri oleh Fatmawati, Istri Bung Karno, ketika keluarga itu baru kembali dari tempat pengasingan di Bengkulu, dan baru mulai tinggal di Jakarta. Shimizu, seorang perwira Jepang yang menjabat sebagai kepala barisan propaganda di Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Sumatera), berkata : “bikin bendera yang paling besar ya!”

Permintaan Shimizu untuk membuat bendera Merah-Putih yang besar itu, sesungguhnya sesuai dengan “janji kemerdekaan” yang telah dinyatakan Jepang secara terbuka pada September 1944, dimana rakyat di izinkan mengibarkan bendera Merah-Putih berdampingan dengan bendera Jepang pada hari-hari besar.

Untuk mendapatkan cita atau bahan kain untuk membuat bendera besar yang yang pantas dikibarkan di halaman luas rumah besar Pegangsaan Cikini tersebut cukup sulit selama pendudukan Jepang. Rakyat Indonesia bahkan menggunakan pakaian yang dibuat dari bahan karung atau goni, disebabkan kelangkaan tekstil pada masa itu.

Shimizu lalu memerintahkan seorang Perwira Jepang untuk mengambil kain merah dan putih secukupnya, untuk diberikan kepada Ibu Fatmawati. Dua blok kain merah dan putih dari katun halus itu setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus yang diperoleh dari sebuah gudang di Jalan Pintu Air Jakarta Pusat, yang kemudian diantarkan oleh Chaerul Shaleh ke Pegangsaan.

Peran Ibu Fatmawati yang ketika itu berusia 22 tahun yang mampu melunakkan hati para Perwira Jepang, merupakan modal penting dalam mendampingi perjuangan Bung Karno. Ketika membuat bendera besar itu, Ibu Fatmawati sedang hamil tua mengandung bayinya yang pertama. “menjelang kelahiran Guntur, disaat usia kandungan mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah-Putih itu.” Ujar Ibu Fatmawati. Dikarenakan kondisi fisiknya, dan juga karena ukuran bendera yang besar, pekerjaan tersebut baru selesai dalam dua hari.

“Berulang kali saya menumpahkan air mata diatas bendera yang sedang saya saya jahit itu.” Kenang Ibu Fatmawati, titik-titik airmata beliau yang tumpah pada bendera pusaka itu, lalu terajut kedalam benang-benang katun halus itu, merupakan sumbangan seorang perempuan Indonesia kepada Bangsanya. Ibu Fatmawati mungkin tidak penah menduga bahwa bendera yang dijahitnya pada akhir tahun 1944 itu, ketika ia berumur 22 tahun, kelak mengukir sejarah dan menjadi pusaka bagi bangsa Indonesia.

Setiap hari sejak Proklamasi Kemerdekaan, Sang Merah-Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati itu selalu dikibarkan di pekarangan rumah Presiden Soekarno di Jalan pegangsaan Timur 56. hujan kehujanan, panas kepanasan. Pada tanggal 3 Januari 1946, ujian berat dihadapi Republik Indonesia, dikarenakan pasukan sekutu yang dikirim ke Indonesia, ternyata disusupi oleh Pasukan Belanda. Belanda kembali melncarkan agresi militernya, dikarenakan Pemerintah Hindia Belanda tidak mengakui Kemerdekaan dan Kedaulatan Republik Indonesia.

Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 4 Januari 1946 berbunyi : “Berhubung dengan keadaan di Kota Jakarta pada dewasa ini, Pemerintah Republik Indonesia menganggap perlu akan Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan di luar Jakarta. Oleh sebab itu sejak kemarin Presiden dan Wakil Presiden telah berangkat ke tempat kedudukannya yang baru di Yogyakarta.

Pada 4 Januari 1946 pagi, rombongan Presiden dan Wakil Presiden tiba di Yogyakarta, keluarga Presiden Soekarno diantar ke Gedung Agung di ujung jalan Malioboro. Sedangkan keluarga Wakil Presiden Mohammad Hatta diantar ke sebuah rumah yang telah disediakan di sebelah utara Gedung Agung (sekarang menjadi Markas Korem 072/Pamungkas). Para Menteri tersebar di berbagai rumah penduduk.

Bendera Merah-Putih yang dibawa dari Pegangsaan Timur pun kemudian dikibarkan setiap hari di depan Gedung Agung. Berbeda dengan tiang kecil di Pegangsaan Timur, tiang bendera besar dan tinggi di depan Gedung Agung tampak lebih sepadan untuk bendera berukuran 2 x 3 meter itu.

Agresi Belanda terus dilancarkan untuk menekan Pemerintah Republik Indonesia, yang mana serangan terbesar terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, sejak subuh pada hari Minggu itu Belanda menggempur Yogyakarta dengan tembakan mitraliur dari pesawat-pesawat terbang P-51 yang melintas rendah di atas Kota. Yogyakarta akhirnya jatuh. Presiden, Wakil Presiden, dan pemimpin-pemimpin besar yang lain ditawan. Foto Bung Karno memegang bendera Merah-Putih ketika hendak naik ke jip tentara Belanda di sebarluaskan oleh pihak Belanda, untuk mematahkan semangat perjuangan Bangsa Indonesia.

Bung Karno sempat melakukan aksi penyelamatan terhadap bendera Merah-Putih yang selama itu telah berkibar di Gedung Agung, yaitu bendera yang pada tahun 1944 dijahit oleh Ibu Fatmawati. Ia memanggil Husein Mutahar, Ajudan Presiden, dan menyerahkan bendera itu dengan amanat untuk menyelamatkannya. Bendera itu mempunyai nilai sejarah karena dikibarkan pada saat Proklamasi Kemerdekaan.

Bung Karno mengatakan kepada Mutahar. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini aku memberi tugas kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu. Bendera ini tidak boleh jatuh ketangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikan kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun, kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan kepadaku sebagaimana engkau harus mengerjakannya.”

Dalam keadaan genting, Mutahar tidak bisa berpikir terlalu panjang untuk melaksanakan tugas penyelamatan bendera yang diterimanya dari Presiden Soekarno. Karena menganggap resikonya terlalu tinggi untuk mengungsi dibawah Agresi Belanda dengan membawa Bendera Merah-Putih, maka Mutahar kemudian membuka jahitan bendera itu. Rencananya, kain merah dan kain putih dari bendera itu akan dipisah tempat penyimpanannya. Dalam benaknya, Mutahar berpikir bahwa selama ia menjadi dua carik kain, maka ia tidak dapat disebut Bendera, sehingga kecil kemungkinan dirampas Belanda.

Dengan bantuan Ibu Pernadinata, senang jahitan itu dibuka, sehingga kedua carik kain merah dan putih itu terpisah. Mutahar meletakkannya masing-masing carik kain pada bagian dasar dua tas yang kemudian diisinya penuh dengan pakaian dan kelengkapan pribadi lainnya. Siap untuk dibawa mengungsi.

Setelah Presiden dan Wakil presiden ditangkap, lalu diterbangkan ke Sumatera, giliran Mutahar dan Staf Presiden lainnya yang tertangkap. Mereka dibawa kelapangan udara Maguwo, dan kemudian diterbangkan dengan pesawat Dakota ke Semarang. Di Kota itu mereka semua menjadi tahanan Belanda. Mutahar berhasil melarikan diri ke Jakarta, setelah hukumannya diringankan menjadi tahanan Kota.

Di Jakarta, Mutahar selalu mencari informasi tentang keberadaan Bung Karno yang ketika itu sudah diasingkan Belanda ke rumah pengasingan di Mentok, Pulau Bangka. Mengingat bahwa Bendera sebagai Lambang Negara dan juga kondisi sudah mulai tenang, bendera yang mempunyai nilai sejarah tinggi harus selalu berada di dekat Presiden Soekarno.

Mutahar kemudian meminjam mesin jahit milik seorang Dokter untuk menyatukan dua carik kain merah dan putih kembali menjadi bendera, setelah menerima surat pribadi dari Presiden Soekarno yang dibawa oleh Sudjono, yang mana isi surat tersebut untuk di bawa ke Mentok. Penjahitan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk mengembalikan bendera ke bentuk aslinya. Setelah bendera berhasil disatukan, lalu dibungkus dengan kertaas Koran untuk menyamarkannya, dan diserahkan kepada Sudjono. (kelak pada Tahun 1961, Husein Mutahar menerima Anugrah Bintang Mahaputera yang disematkan sendiri oleh Presiden Soekarno, atas jasanya menyelematkan bendera itu.)

Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, beserta beberapa pemimpin Republik Indonesia tiba kembali dari pengasingan di Yogyakarta. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1949, bendera bersejarah itu dikibarkan kembali di depan Gedung Agung untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-empat.

Nilai sejarah bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan mulai tampak jelas pada saat Bung Karno menempatkannya dalam sebuah peti berukir, dan membawanya kembali ke Jakarta. Dalam foto documenter terlihat bagaimana bendera itu dibawa turun keluar dari Pesawat Garuda Indonesian Airways dengan upacara khidmat pada sore hari 28 Desember 1949 itu.

Rombongan Presiden Soekarno di elu-elukan Masyarakat sepanjang perjalanan dari lapangan udara Kemayoran hingga Istana Koningsplein yang waktu itu disebut sebagai Istana Gambir. “Merdeka! Merdeka!” pekik rakyat di sepanjang jalan. Pada waktu itulah Bung Karno kemudian mengganti nama Gambir menjadi Istana Merdeka, termasuk yang berada disekitar Istana juga dinamai merdeka, Medan merdeka, dan Masjid Istiqlal yang dibangun kemudian (Istiqlal berarti Merdeka).

Sejak tahun 1958, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, Bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, ditetapkan sebagai Bendera Pusaka.

Sejak kembali ke Jakarta, Bendera Pusaka dikibarkan setiap tahun pada detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka. Bendera Pusaka masih dikibarkan sekali lagi di Istana Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1968. artinya, hanya dua kali dikibarkan dalam pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1969 dibuatkan duplikat Bendera Pusaka dari bahan Sutera Alam.

Bendera Pusaka ini sempat sobek di dua ujungnya, ujung berwarna putih sobek sebesar 12 X 42 cm. Ujung berwarna merah sobek sebesar 15x 47 cm. Lalu ada bolong-bolong kecil karena jamur dan gigitan serangga, noda berwarna kecoklatan, hitam, dan putih. Karena terlalu lama dilipat, lipatan-lipatan itu pun sobek dan warna di sekitar lipatannya memudar.